Serba-Serbi Wacana Diet Santriwati
![]() |
| sumber: www.pinterest.com |
Haha. Menurut saya ini cerita yang paling banyak ingkar janjinya. Santriwati. Mau. Diet. Yang makin kuat tekadnya di lidah, biasanya ambil makannya paling banyak nanti.
Saya pernah remaja (saya sekarang masuk tahapan dewasa muda, ya), merasa sedikit (sedikit aja ya..) insecure dengan badan yang gini-gini aja (jelek nggak, tapi bagus banget juga nggak, toh berat badan saya terhitung cukup untuk tinggi badan saya, haha), adakalanya saya juga mau badannya ideal, tapi karena saya realistis, ya saya tidak menargetkan agar badan saya seperti member girlgroup atau cewek douyin di weibo dan pinterest.
Saya. Cuma. Mau. Badan. Saya. Terasa. Lebih. Enteng.
Bukan kurus ya. Bukan eleven abs. Saya cuma mau bisa lari tanpa ngos-ngosan di pace cepat. Rasanya lelah dan menyakitkan ketika melihat rekam lari saya baru 10 menit tapi nafas saya sudah ngik-ngik (biasanya akan saya padu dengan jalan cepat kalau saya udah begini). Tapi, apapun yang terjadi, saya tidak pernah berpikir untuk berhenti lari, meski cedera. Ya tungguh sembuh dulu, baru lari lagi sesuai intensitas dan saran dokter.
Tentang Diet Santriwati (saya nggak akan sebut merek, tapi kalau tersinggung ya mohon maap)
Anggota tengah hendaklah ingat,Di situlah banyak orang yang hilang semangat.
Itu adalah penggalan syair Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji, pasal ke-3. Tentang perut, atau lebih tepatnya memerhatikan makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut kita. Ini adalah prinsip utama sebagai muslim yang membuat saya amat memerhatikan apa yang masuk ke mulut dan perut saya.
Meski sering hilang kendali dan makannya jadi buanyak banget. Tapi saya selalu evaluasi dan berusaha bertanggungjawab sendiri seandainya saya kenapa-napa dengan nafsu makan yang tak terkendali ini. Saya harap, santriwati di luar sana juga memperhatikan makanan bukan hanya sekedar keinginan diet dan kurus semata, tapi karena agama kita (lewat gubahan syair Raja Ali Haji ini contohnya) mengajarkan untuk tidak berlebihan, bukan sengaja mengurangi makan hingga menyakiti diri.
"Pokoknya aku mau diet! Aku cuma boleh makan nasi pas makan siang aja! Dan nggak boleh tidur pas laptop-an nanti!"
Begitulah kalimat umum yang biasa saya dengar dari mulut santriwati lain di pondok jika ia merasa sudah makan terlalu banyak. Saya hanya bisa senyum meledek, karena saya yakin saat makan malam nanti ia akan makan paling banyak dengan dalih agar tidak tidur saat muthalaah atau kelas malam. Atau karena tiba-tiba ada nonton bareng sekelas, atau buka puasa bersama, atau syukuran makan bersama. Banyaklah alasannya.
Alasan itu selalu ada. Untuk orang yang ingin membatalkan niatnya, dan untuk orang yang ingin menguatkan niatnya.
Benar pula adanya, malamnya saya lihat santriwati tersebut malah bawa sepiring penuh menu makan malam, saat saya tanya, dia bilang ini makan bertiga dengan temannya. Tapi porsi itu sangat tidak wajar untuk bertiga, itu lebih ke porsi untuk lima orang. Ditambah, di tangannya yang bebas dari memegang piring, ada beberapa jajanan asin yang pasti akan dicampurkan ke nasi, biasanya juga ada bumbu nasi goreng, bumbu nasi uduk dan nasi rendang, biasanya sih ngelesnya biar ada "rasa"-nya.
Besok paginya dia akan meraung-ruang menyesal lagi. Karena sudah gagal diet dan ingkar janji dengan dirinya sendiri. Saya cuma bisa tertawa meledek kalau sudah begitu.
Kocak banget jujur kalau saya ingat-ingat lagi.
"Aku iri sama kak Oi." Satu hari adik kelas saya ada yang komentar begini ke saya. "Kak Oi makannya banyak, tapi nggak gendut-gendut."
Kalau dikupas lebih dalam lagi, ukuran gendut dan kurus orang itu beda-beda ya, ada skinny fat atau orang yang kurus tapi buncit, ada juga orang yang kelihatannya gemuk tapi pas timbang berat badan ternyata dia ideal. Tapi, sebagai kakak kelas yang baik, saya lebih memilih mendengarkan omongan adik kelas saya yang tersebut itu terlebih dahulu.
Saya yang lagi ngunyah kue pemberian orang hanya tertawa sambil hampir keselek. "Nggak gendut gimana maksudnya?"
"Ya, kak Oi tadi barusan makan siang ambil jatah 3 orang, tambah jatah kakak jadi porsi 4 orang, terus dikasih kue yang kalorinya tinggi sebiji gede gitu, terus sekarang kakak lagi buka chocolatos--dan kakak udah habisin 7 bungkus kak, sadar kak! Sadar! Kakak udah makan banyak banget."
Saya nyengir ketika tanpa sadar selama dia menjelaskan saya sudah makan 7 batang chocolatos cheese dan sedang membuka bungkus yang ke-8. Meski takut gula darah saya naik, tapi pada akhirnya saya makan itu dengan ikhlas tanpa ragu sama sekali.
Saya memang makannya banyak. Kadang bisa brutal malah, apalagi kalau hormon lagi naik-naiknya. Saya pernah makan nasi putih setengah nampan berdiameter 50 cm berlauk kerupuk saja (tunggu ceritanya nanti, ya). Tapi saya bukan orang yang harus makan banyak, makan seporsi normal atau setengahnya pun sebenarnya sudah bisa cukup, tidak akan membuat saya craving dan bergetar memilukan karena ngidam suatu makanan banget, cuma selagi masih bisa banyak kenapa harus sedikit? Maksudnya, kalau bisa makan banyak dengan jumlah yang wajar (meski kadang tidak wajar ya) dan aktivitas serta olahraga yang seimbang, kenapa nggak gitu kan? Apa salahnya makan banyak kalau olahraganya juga banyak?
"Tapi kak Oi tinggi, sih... aku juga mau tinggi biar bisa makan banyak kayak kak Oi!" Ujarnya makin iri. Saya hanya tertawa. "Kak, aku makan dikit biar kurus tetep aja pas nimbang di UKS malah naik, 2-3 kilo bahkan. Apalagi kalau kita ada acara yang makan malemnya jam 10 malem, besoknya bisa naik 4-5 kilo." Keluhnya sedih, memasang wajah manusia paling stres di dunia. Merasa menjadi wanita paling gendut yang pernah ada. Tetap semangat berkaca meski sambil misuh-misuh kenapa badannya bulat. Tapi pada akhirnya afirmasi paksa dengan; "nggak papa, gemuk itu sehat. Aku masih masa pertumbuhan, jadi gak papa makan banyak."
"Emang enak kelihatannya," saya merapikan sampah bekas makan saya sambil duduk di hadapannya, memberikan pemahaman yang baik dan benar, karena pola pikir diet untuk kurus, kurus dengan makan sedikit itu adalah hal yang tidak baik. "Kalau semuanya; makan, minum, tidur, dan olahraganya seimbang, bakal cukup kok. Tidak akan membuat kamu merasa harus kurus. Ya kecuali kamu aktris atau balerina yang memang dibatasi berat badannya maksimal 46 kg."
Diet Sejati
Tak perlu kurus untuk merasa cantik dan sehat. Tak perlu selalu putih glowing untuk menarik dan menawan. Cukup seimbangkan saja makan, tidur, olahraga. Kelola stres dengan baik, maka itulah diet yang sejati. Diet yang tidak hanya memperbaiki pola makan, tapi juga pola hidup, tidur yang mana secara tak sadar kita sudah memperbaiki hal-hal yang kita takutkan itu: takut gendut, buncit, craving manis, jerawatan, dan lain sebagainya.
Cukup ambil lauk dan nasi dari pondok secukupnya, setengah porsi kalau bisa biar tidak mengantuk. Kalau ingin tambahan bumbu atau jajanan asin juga boleh, biar nggak terlalu hambar. Tapi jangan keseringan. Bukannya malah sok makan lauk-sayurnya aja tanpa nasi, mending lauknya tempe bacem, kalau terong balado gimana? Gimana nggak naik itu asam lambung sampe huek-huek?
Bukan stok oatmeal sebagai pengganti nasi dan akhirnya cut off nasi putih selamanya, tapi tetap jalani saja makan oatmeal, tapi dengan kombinasi nasi putih beberapa kali, jangan berlebihan. Secukupnya. Sebenarnya kalau mau cut off nasi dari pondok juga nggak papa, tapi apa nggak sayang dengan uang spp makan dari orangtua hanya berakhir menyedihkan di tempat pembuangan organik?
Banyak hal yang sebenarnya bukan karena makanan pondok kurang bergizi lah, kurang serat lah, kecapekan karena akrivitas padat lah, apalah itu. Itu hanya karena kita yang tidak bisa mengontrol diri dalam nafsu makan dengan baik.
Siapa suruh stok mie untuk masak dan makan tiap minggu sedangkan sayur di pondok malah dianggurin? "Tapi sayur pondok nggak enak, kak, kuahnya butek.. asin.. nggak kayak di rumah."
Lah, lalu buat apa orangtua kita mengeluarkan uang untuk bayar spp makan kalau ujung-ujungnya kita stok makan sendiri ala-ala oatmeal lah, sereal lah, sayur lah, susu lah tanpa alasan kesehatan dan kebutuhan mendesak tertentu? Lebih mendalam lagi: mengapa mondok kalau sudah tahu resiko yang harus ditanggung adalah semacam ini? Kalaupun mondok dipaksa orangtua, selesaikan misuh-misuhnya dengan orangtua, bukan menjadi picky eater yang menyusahkan piket dapur dan orang lain dengan selera makan ribet-takut gendut berkedok diet itu.
Sebagai akhwat, saya mengakui bahwa ketakutan kita terhadap kegemukan, jerawatan dan "kriteria tidak cantik dan membuat insecure"lainnya membuat kita mengabaikan banyak hal dan tidak bisa berpikir dengan jernih.
Bukannya tidak boleh stok oatmeal, suplemen kolagen dan sebagainya. Tapi, yang harus dirubah bukan mengurangi porsi makan yang ada dan sok-sok ganti dengan menu yang tidak ada di pondok yang kita anggap sehat dan menambah suplemen diet atau membawa menu-menu sehat demi ego kita saja.
Makanlah apa yang ada pondok, olahragalah di pondok dengan serius, perbanyak gerak meski hari libur. Saya sudah mempraktekkannya, dan terbukti jika dikombinasikan dengan puasa daud (tentu makanan dari pondok disimpan untuk berbuka atau diberi ke orang, tidak akan saya sia-siakan di tempat pembuangan organik) saya turun 6 kg dalam 2 minggu.
"Tapi kan kak Oi badannya gampang turun berat badannya.. aku gemuk daging yang susah turun berat badannya..." keluh adik kelas saya itu lagi.
"Apakah angka timbangan menentukan kita cantik atau sehat?" saya tanya balik.
Dia menggeleng.
"Kenapa harus fokus ke angka dan berapa kilo kita turun? Apa semua yang kurus itu pasti cantik?"
Dia menggeleng lagi.
"Apakah ada orang yang hidup dengan makan, olahraga dan stres yang seimbang malah obesitas dan penyakitan?"
Dia menggeleng lagi. Saya tersenyum menyebutkan kesimpulan: "maka seimbangkan dan cukupkan diri dengan yang ada, meski angka di timbangan tidak sesuai yang kamu inginkan atau standar kurus pada umumnya, kamu ideal dengan pola hidup yang seimbang." Ini bukan tentang berapa kalori yang kita makan dan bakar, tapi melatih mentalitas untuk qana'ah/mencukupkan diri dengan yang ada tanpa selalu meminta dan memaksakan lebih.
Jadi, bagaimana pembaca semua? Terutama yang perempuan/santriwati, kalau ada hal yang ingin didiskusikan dan pendapat lain bisa ditulis di kolom komentar ya! Salam sehat.



Komentar
Posting Komentar