Hari Yang Bertambah = Tidak Semudah Dulu
![]() |
| teman seangkatan saya saat PRISTAC 1 |
Pengantar (Penting)
Pondok saya memiliki 3 jenjang dalam 6 tahun. 2 tahun SMP/Shoulin al-Islami, 2 tahun setelahnya SMA/PRISTAC, dua tahun terakhir At-Taqwa College (Atco)/Pre-University (tapi kalau di luar kerap dikenal sebagai SMA juga, karena kan memang levelnya dengan jenjang sekolah umumnya kami ini masih SMA). Sistem yang sudah berbeda dari yang lain ini memberikan banyak warna pada kehidupan pondok saya. Belum lagi jika kita bahas kurikulum pembelajarannya ya, meski ini bukan artikel promosi, tapi hal ini adalah hal penting yang pembaca blog ini harus tahu, karena sebagian besar kisah hidup saya ini di berlatar pondok dengan sistem yang berbeda, jika saya menyebutnya dengan jenjang pondok saya tapi pembaca tidak paham, ya untuk apa?
Pondok saya adalah pondok pesantren Adab dan Pemikiran (Islam dan Barat). Tidak hanya fokus pada belajar dari kitab klasik, tapi juga buku-buku kontemporer berbahasa inggris (dan kalau memungkinkan, biasanya juga ada referensi tambahan buku bahasa latin atau bahasa yang penting dikenalkan untuk belajar peradaban Barat). Hal ini adalah materi yang berat adanya, namun tidak mustahil diajarkan kepada anak SMP-SMA. Meski awalnya tidak mengerti, tapi dengan keikhlasan pengajaran guru di pondok perlahan membuat saya sebagai santri bisa memahami dengan baik agama Islam bukan hanya dari sudut kitab klasik, tapi juga literatur berbahasa inggris, dari sejarawan barat/orientalis. Itu semua membuka wawasan dan pemikiran saya lebih luas dengan beragam macam referensi.
Hari-Hari Yang Tidak Mudah Seiring Naiknya Jenjang
Seiring berjalannya waktu, ujian dan materi saya lalui sebagai santri junior. Shoulin 1, Shoulin 2, PRISTAC 1, PRISTAC 2, Atco 1 dan 2. Masa-masa transisi ke tiap levelnya sadar-tak-sadar adalah fase yang cukup menyedot energi saya. Perubahan status dan naiknya level mengindikasikan materi belajar dan ujian yang lebih berat dan sulit daripada sebelumnya. Di saat yang sama, bertambahnya level tidak menjamin otak saya akan selalu mulus dan menyerap semua materi dengan baik.
Godaan memang selalu ada; malas, mengantuk dan lain-lainnya. Tapi, perubahan-perubahan signifikan terkait pertemanan, lingkungan, tuntutan sosial dan image adalah hal terbesar yang saya rasakan. Ini bukan hal yang membebani dalam sudut pandang negatif, hanya saja jadwal belajar dan materi belajar menjadi lebih banyak dan padat, membiasakan diri dari yang banyak main-main saat junior ke masa-masa sibuk rapat dan belajar saat menjadi senior bukan hal yang sederhana.
Tekanan mulai datang, bahkan di beberapa kesempatan ia datang bertubi-tubi: uang krisis, tapi harus print tugas, tapi laptop pemakaiannya terbatas, ternyata di hari yang sama harus kumpulkan 2 tugas mapel padahal saya baru mengerjakan satu karena tugas kedua baru dikabarkan mendadak, dan uang saya pas-pas-an banget untuk nge-print, pas mau nge-print ternyata tempat print-nya tutup, saat minta panggil penjaganya, waktu dibolehkannya santri akhwat di luar asrama sudah habis dan mau tak mau harus kembali ke asrama.
Itu adalah gambaran yang amat sederhana dari beragam potret complicated hidup sebagai santri.
Belum lagi perubahan pada diri dan kepribadian teman (bahkan saya sendiri). Sosok teman kita memang sama, tapi kepribadiannya saat naik kelas, terutama perubahan terbesarnya terjadi saat naik jenjang sadar-tak-sadar berubah, drastis malah. Beberapa sosok teman kalau tidak berubah kepribadiannya ya dia raib, memutuskan untuk melanjutkan belajar ke tempat lain atau keluar dari pondok. Itu semua adalah hal yang ada di luar kendali saya sebagai manusia. Tapi, proses menerima dan membiasakannya tidak pernah mudah, berapapun jumlah teman yang ada di sisi diri ini.
Yang awalnya sering bercanda, tapi karena naik jenjang dan dituntut untuk lebih serius, ia menjadi lebih rajin dan mungkin waktu bercanda dan bersantai ria dengan kita berkurang. Ketika kita berusaha santai padanya malah dibentak atau ditegur dengan tegas. Perubahan ini baik adanya. Seiring bergulirnya waktu, terkadang kita baru menyadari karakter asli teman atau diri kita karena tekanan dari keadaan. Saat lelah rapat sebagai panitia, kita dan teman-teman yang sebelumnya tidak padat dengan kegiatan pasti lelah, akan tetapi di tengah rasa lelah itu, ternyata ada yang jadi emosian, atau jadi suka menyendiri yang sebelumnya kita tak pernah lihat kondisinya yang tersebut. Semua itu seringnya baru kita sadari saat kita dan teman-teman tengah berada di bawah tekanan yang demikian.
Meskipun sesama teman, menerima perbedaan itu bukan hal yang mudah. Seiring bertambahnya hari, banyak tantangan yang membuat jalan menuntut ilmu lebih terjal dan berat, atau mungkin terasa sedikit sulit daripada sebelumnya.
Hal itu wajar, sebagaimana bermain game. Bertambahnya level, tentu kesulitan akan bertambah. Justru aneh jika bertambah level tapi semakin mudah. Ya kalau pakai mod atau nge-cheat itu sudah beda cerita dan hukumnya, ya.
Segalanya menjadi tidak semudah sebelumnya.
Tidak Mudah = Membentuk Diri Yang Kuat
Kabar gembiranya, di tengah gebrakan dan tantangan yang memang sulit dan berat. Itu semua akan membuat kita menjadi lebih kuat. Itulah yang saya rasakan. Tentu dengan perbandingan diri kita sekarang ke diri kita di masa lalu. Karena setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.
Saya berhasil mondok hingga tuntas selama 6 tahun. Banyak hal yang amat berat dan tidak mudah alhamdulillah sudah saya jalani. Apakah itu artinya saya kuat? Saya katakan ya jika saya yang sekarang dibandingkan dengan saya yang baru masuk pondok 6 tahun lalu di tahun 2019. Perubahannya sangat besar dan signifikan.
Dari sini saya percaya, dan saya ingin para pembaca juga percaya, bahwa selalu ada hadiah terindah untuk kta dari segala proses sakit dan pahit yang dialami, bahkan di saat kondisi yang kita sendiri tidak yakin kita kuat. Jika kita menjalaninya dengan sepenuh hati, fokus untuk menikmati dan menyelesaikan apa yang ingin kita mulai, akan ada hikmah dan hadiah tak terduga, salah satunya mental yang kuat bak baja yang dihasilkan dari banyaknya gebrakan hidup.
Maksud saya di sini hanyalah sederhana adanya. Bertambahnya hari dan umur memang membuat tantangan tidak semudah dulu, tapi dengan menyelesaikan yang sudah kita mulai (belajar, bekerja, berkeluarga, mengajar, mengabdi, dsb) dengan evaluasi dan renungan serta do'a, akan selalu ada kebaikan yang akan/segera disadari. Percaya pada diri, jalani, selesaikan, ikhlaskan.



Komentar
Posting Komentar