Belajar Mengambil Resiko dari Ayah: Spesial Hari Ayah Nasional 2025
Ayah saya adalah sarjana dan magister teknik elektro. Tentu, rumahnya kerap banyak dan penuh dengan kabel-kabel, PABX, CCTV, komputer, pc, dan peralatan lainnya yang saya tidak pahami. Di saat yang sama, hal itulah yang membuat masa kecil saya berwarna, sebagaimana warna-warni kabel ayah saya. Tak jarang saya suka ikut memperhatikan ayah kalau sedang las kabel, memotongnya dengan tang atau memungut baut-baut magnet. Pekerjaannya adalah hobi dan minat yang dibayar, jadi, adakala beberapa kesempatan ia mengajar atau mengisi pelatihan CCTV tanpa bayaran, ia dengan senang hati menerimanya, "emang ayah suka kak, jadi gak papa kalau nggak dibayar pun tetep gas." Dedikasi tinggi pada pekerjaannya yaitu engineer/teknisi adalah dorongan dari hati tanpa dipaksa siapapun, termasuk bunda saya.
Ke-kepo-an saya menjadi-jadi jika ayah sudah bongkar alat, mulai dari komputer, televisi, hingga dvd dan kipas angin. Hal itu membuat masa kecil saya tumbuh banyak dengan cerita saya kesetrum. Ya, kesetrum. Seringnya karena tangan saya yang bandel asal pegang alat/kabel, atau setrumannya merambat dari ayah saya yang lagi kesetrum lalu ke saya karena saya menggandeng tangannya. Itu serius lho, ya. Untungnya semua itu tak terlalu menyakitkan dan membuat trauma. Justru makin sering kesetrum saya makin kepo, kok bisa nyetrum ya? Saya salah pegang yang mana ya? Apa yang harus saya pencet biar nggak nyetrum?
Dari saya TK hingga SD kelas 3, masa itu adalah masa-masa ayah paling sibuk dengan pekerjaannya. Seringkali ia pulang larut atau bahkan bermalam-malam tak ada di rumah. Ketimbang merasa tidak diperhatikan olehnya dan ngambek untuk caper, saya kerap lebih senang memahami kerja dunia dengan main bersama tetangga, atau memperhatikan topik obrolan ayah-bunda meskipun saya tidak mengerti. Mulai dari urusan sekolah saya dan adik-adik, urusan rumah, hingga urusan kerjanya. Sesulit apapun situasi dan ekonomi yang terjadi, tidak pernah saya temukan binar lelah dan lesu di mata ayah kalau sudah masalah pekerjaan. Di situ saya paham bahwa saya harus serius melakukan apa yang saya sukai, karena saya juga se-tipe dengan ayah, serius dengan passion dan minat. Jika panggilan hati ayah adalah menjadi engineer dan belajar teknik elektro, panggilan hati saya yang sudah saya tekuni dan camkan dalam diri sejak lama adalah; menulis dan menjadi penulis.
Meski sekarang, minat menulis saya masih belum spesifik, saya lebih suka eksperimen dengan segala gaya dan genre menulis, ayah tidak pernah mengkritik berlebihan tentang hal itu. Saya bersyukur hidup, bertumbuh dan besar di bawah naungan orang tua yang tidak memaksakan kehendak mereka, orang tua yang memperhatikan apa potensi anaknya serta memaksimalkannya di saat banyak orang tua memaksakan kehendak kepada minat anak mereka dengan polesan "agar dapat pekerjaan yang gajinya besar" atau kalimat sejenis.
"Rezeki itu sudah Allah atur, kalaupun orang itu misal; jadi CEO atau kerja di perusahaan yang gajinya 2 digit, kalau nggak bersyukur dengan yang dia punya, nggak bakal puas." Ayah saya suka menasehati ini jikalau kami sedang diskusi tentang ekonomi yang sedang sulit dan PHK di mana-mana. "Nggak usah takut, kalau kita baik, akan selalu ada orang yang ngasih kerjaan ke kita, percaya sama kita, memberi bantuan pada kita."
Ayah adalah orang yang tidak takut dengan resiko. Tipikalnya adalah yang lebih suka roda kehidupan bak roller coaster yang tak dapat diprediksi. Di saat orang lain bangga dan nyaman dengan statusnya sebagai karyawan perusahaan teknik ternama, ayah dengan percaya dirinya resign dari sana dengan pertimbangan yang telah dipikirkan. Menjadi karyawan yang selalu mendapatkan income pasti tiap bulan memang baik, tapi, melihat progress income yang hanya segitu-segitu aja, ditambah tuntutan hidup yang bertambah membuatnya merasa harus menambah penghasilan lebih.
Bukan karena tidak bersyukur, tapi beberapa kondisi yang dialaminya membuat ayah memutuskan untuk memulai bisnis sendiri, yang mana di mata orang-orang itu adalah keputusan yang aneh, keluar dari perusahaan teknik ternama dengan gaji lumayan untuk memulai bisnis kecil-kecilan yang butuh modal besar, income tak pasti, belum lagi dengan urusan administrasi ke pemerintah yang rumit.
Ayah saya sudah mencontohkannya secara langsung di depan mata saya saat itu, meski saya baru memahaminya akhir-akhir ini.Memang sulit. Tapi bukan berarti mustahil. Meski sulit, tapi berhasil.
"Kalau jadi karyawan, gaji 2-5 juta/bulan, kerja 9 to 5 dan kurang bisa fleksibel. Kalau jadi CEO atau pengusaha, kita bisa aja nggak dapet proyek 2 bulan, tapi sekalinya dapat proyek nilainya ratusan juta yang mana nilainya lebih daripada gaji kita kerja sebagai karyawan selama 2 bulan. Belum lagi, kan meski tidak dapat proyek besar, kita punya banyak networking dan proyek kecil untuk income harian. Yang paling penting juga, kerjanya fleksibel, nggak harus absen dengan scan sidik jari ke kantor." Dari kalimat itu, biasanya orang akan menangkap ayah merendahkan karyawan dan bangga dengan keputusannya menjadi CEO/engineer, padahal tidak sesederhana itu.
Selalu ada harga yang dibayar di tiap keputusan kita. Selalu ada resiko yang harus ditanggung jika menjadi CEO atau pengusaha. Memang kerjanya fleksibel, tapi jika ada notif proyek penting di tengah malam, itu artinya kita harus mengorbankan waktu tidur kita, apakah kita semua mampu?? Belum tentu.
"Banyak orang lihat pengusaha itu pasti banyak duit, padahal nggak juga. Ada kala ayah kosong, nggak ada proyek berbulan-bulan, tapi alhamdulillah yang namanya udah rezeki, ayah selalu totalitas dalam bekerja, ada aja proyek kecil yang banyak datang buat ayah kerjain. Jadi, karena itu ayah makin yakin rezeki kita memang sudah diatur, tinggal kita yang doa dan berusaha aja."
Hal ini membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang cukup tidak suka diatur, lebih tepatnya dikekang. Karena dari ayah saya belajar untuk banyak bereksperimen dan mencoba. Kita diatur memang harus, karena bebas se-bebas-bebasnya juga bukan hal yang bagus. Tapi, untuk beberapa orang, ketika aturan dirasa terlalu streak, seperti tipikal ayah saya-lah saya jadinya; lelah dengan sistem mengekang dan berusaha bersinar di caranya sendiri dengan berbagai jalan, meski harus mengambil resiko besar. Selagi kita mempertanggungjawabkannya dan adil kepada diri sendiri dan orang lain, taat kepada perintah Allah, tidak mengerjakan larangannya, maka akan saya ambil keputusan itu meski banyak orang yang menilai hal itu gila dan mustahil.
Karena, di saat yang sama akan ada ayah yang selalu mendukung dan menyemangati saya, serta memfasilitasi apa-apa yang saya butuhkan. Saya tidak butuh dukungan penuh dari seluruh manusia di bumi, cukup ayah, bunda dan keluarga terdekat membuat saya kuat menghadapi gebrakan dunia, serta mengambil dan menjalani resiko.
Terakhir, benar juga adanya kalimat ini:
Ibu takut kamu kenapa-kenapa, karenanya ia selalu menjagamu. Tapi ayah takut kamu tidak menjadi apa-apa, karenanya ia mendidikmu dan membebaskanmu melihat dunia, asal masih aman di bawah penjagaannya.
Selamat hari ayah nasional! Apapun kondisinya, ayah yang bekerja keras untuk keluarga meski keberadaannya jarang di sisi kita adalah sebuah anugerah terindah.


❤️🤗 Tulisan yg menyentuh hati..❤️
BalasHapusthank youu
Hapus