Princess Bali
Tak perlu takut, saya buat artikel ini dengan bahasa indonesia kok, cuma karena sosok yang akan saya ceritakan di dalam foto di atas itu 'nginggris' banget, so jadi saya buat judulnya dengan bahasa inggris aja, menghormati, hehe.
Selasa, 2 November 2023, pukul 17.42 WIB adalah waktu presisi foto ini diambil. Foto ini diambil secara tidak sengaja dengan tujuan mencari momen dan angle yang candid banget untuk si objek, tapi akhirnya kebanyakan foto random. Seingat saya, waktu itu saya meminjam kamera salah satu adik kelas saya, biasalah, suka aja capture memorable things, biar bisa diabadikan kalau-kalau sudah lulus nanti.
Seperti yang bisa pembaca lihat, ada seorang perempuan tengah duduk dengan wajah yang tidak seluruhnya terlihat (dan setelah beberapa pertimbangan, inilah foto yang menurut saya cukup aman dan layak dibuatkan menjadi backstory seperti ini). Dia adalah salah satu dari 2 teman saya yang menemani saya di pondok sampai lulus. Namanya Chamilla, asal Bali.
Antara saya, Hira, dan dia, Chamilla adalah yang termuda. Atas faktor tersebut, kalau lagi alay dia suka sebut dirinya si paling menggemaskan, tapi kalau lagi biasa aja, dia akan sibuk dengan pikirannya sendiri. Chamilla ini diem-diem unik, terlalu unik bahkan (dalam arti positif ya, Cham) menurut saya, kenapa?
Waktu itu saya lagi merapikan lemari, di samping saya dia tengah duduk di depan lemari dengan beberapa pintu lemarinya terbuka. "Oi," dia memanggil saya. Saya merespon dengan mengangkat alis sambil tangan saya masih sibuk lap buku dan merapikan baju.
"Keren nggak, sih? Kita lahir di hari yang sama waktu kita ultah ke-17." Saya ingat, hari itu adalah hari ulang tahunnya yang ke-17, tapi dari segala ulang tahun dia yang saya bersamai di pondok, pemikiran spontannya waktu itu bikin saya bingung. Karena saya nggak mengerti maksud dia, saya hanya mengerutkan kening dan memasang wajah tak paham.
"Maksudnya, hari pas kita lahir nih adalah hari yang sama pas kita ultah ke-17 ini," jelasnya dengan wajah frustrasi. Saya cukup salut dengannya karena bisa bertahan dengan teman yang cukup lemot seperti saya. Karena saya tidak memberikan respon yang meyakinkan dirinya, ia hanya menghela nafas pelan.
Kadang, saya suka merasa bersalah ke dia kalau nggak mengerti segala pemikirannya yang suka datang random itu, tapi saya berharap dia akan menemukan dan dibersamai orang yang setipe dan membuatnya nyaman, jadi setidaknya dia tidak terus lelah dan menghela nafas heran dengan kelemotan saya. Saat saya melihatnya dengan jelas di beberapa kesempatan saat mondok, itu membuat saya sangat senang. Chamilla ini anak rantau, se-kuat-kuatnya anak rantau (ya saya bukan anak rantau, tapi saya bisa memahami perasaan jauh dari rumah dan butuh someone to depend with), berkomunikasi dengan teman dan teman sejawat itu hal penting untuk menjaga kewarasan dan kebahagiaan selama mondok.
Chamilla ini sosok yang paling logis kalau mengambil keputusan diantara kami bertiga. Bisa dibilang, logikanya berfungsi dengan sangat baik. Meski ada beberapa keruwetan, dia bisa menemukan kesimpulan yang pas dan biasanya itu adalah kunci untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jadi, ketika kami kuliah mantiq bersama Dr. Syamsuddin Arif, saya tidak heran melihat kesimpulan yang dia buat dari premis yang diberikan seringkali benar (dia sama Hira sering bener, saya salah mulu (ini saya sadari ketika saya buka-buka lagi catatan kuliah mantiq dan isinya kebanyakan coretan karena stres dan pusing, tapi hampir tidak ada jawaban yang benar, haha)).
Princess Bali (ini sebut-sebutan aja, suka aja saya ngasih dia sebutan gini meskipun nggak pernah saya pakai di kehidupan sehari-hari) ini nggak pernah naik kereta. Ya karena di Bali nggak ada kereta. Sampai satu hari di jadwal perpulangan pondok, saya lihat waktu itu adalah wajah dia yang paling berseri-seri (by the way sekarang di Bali udah ada kereta ya, tapi khusus buat ke bandara aja kata dia).
"Oi, aku mau coba naik kereta," ucapnya senang. Saya menurunkan kedua sudut bibir, meledek. Dia hanya membalas dengan wajah tengil yang sama, "liatin ya, aku bisa tau naik kereta!" keukeuhnya. Saya hanya meledek sambil mengantarnya ke gerbang asrama, menemani dia naik grabcar bandara yang sudah dia pesan sambil membawakan tas laptopnya agar dia tidak terlalu banyak nenteng.
"Hati-hati Cemem, dadah." Ucap saya sambil melambaikan tangan dan saya bisa melihat dia tersenyum dan membalas lambaian saya dari balik kaca film mobil. Begitulah kurang lebih rutinitas saya kalau perpulangan, kalau bisa saya usahakan mengantar dia ke gerbang, kalau tidak ya kami hanya say goodbye sambil salaman, atau lewat chat.
"Ini bukunya tentang lima cewek yang bunuh diri, mereka dari satu keluarga gitu." Satu hari, dia menceritakan buku bacaan terbarunya, judulnya The Virgin Suicides, bukunya inggris ya, nggak level banget deh untuk seorang Chamilla yang nginggris ini baca novel terjemahan. Karena dia ngomong itu random saat kita sedang nongkrong berdua di kamar, saya hanya bisa mendengarkan saja, meski saya tahu tidak akan paham konteks mendalamnya, karena literatur saya kurang dalam novel dan buku bahasa inggris.
Saya ingat sekali, cover bukunya warna merah dan itu selalu dia bawa kemana-mana, tak peduli nantinya akan dibaca apa tidak. Yang lebih paham tentang buku itu Hira, jadi biasanya kalau mereka sedang mengobrol tentang topik dan novel-novel anak sastra inggris seperti itu, saya hanya bisa pasang kuping dan sok-sok memahami, meski pada akhirnya tetap tidak paham. Dan menumbuhkan ketertarikan untuk bacaan seperti itu untuk membuatnya menjadi bacaan harian adalah hal yang cukup sulit untuk saya.
Tapi saya bersyukur, karena punya teman seperti Chamilla, saya bisa banyak tambah wishlist buku bacaan bahasa inggris dan film-film british, juga lagu-lagu barat, "jangan korea mulu Oi! Rap-rap, hip hop mulu! Nih, dengerin referensi utama idol kpop kalau mau bikin lagu, ya dari lagu barat!" Dia suka menceramahi saya kayak gini. Dari segala rekomendasinya, film dan series ya, saya baru nonton hitungan jari. Next time, saya akan usahakan untuk menonton semua film yang dia sarankan, sayang banget udah dikasih tahu malah dianggurin aja di planner list-listnya.
At the end of the story, meski di foto di atas Chamilla nampak tak mau lihat ke kamera karena malu atau alasan apapun itu, sebenarnya dia punya inner beauty yang unik dan sangat mengesankan kalau kita lebih teliti (jangankan inner beauty, diantara kita bertiga, justru dia yang paling cantik (bukan berarti saya jelek, saya cuma kalah cantik aja, haha)). Kalian bisa lihat sosok yang take it flow tanpa streak dengan planning harian yang ketat dan luas wawasannya dengan melihat Chamilla ini. Setiap obrolan bersamanya, buat saya banyak celetukan dan hal-hal tentang dunia yang baru dan belum saya ketahui, meski buat saya tidak terlalu bisa memantik ketertarikan, tapi saya memahami dan berusaha membuka pikiran untuk menjelajahi genre dan sudut pandang baru dari dia, percaya deh, ngobrol apa aja sama Chamilla itu bisa dan seru banget, cuma dia agak diem-diem aja di awal. Itu aja sulitnya, sih.


Komentar
Posting Komentar