Duka Menjadi Santri
Banyak sekali artikel yang menulis tentang kehidupan manis dan membahagiakan dari menjadi santri, tapi masih sedikit yang mengulas mengenai "duka" yang terjadi di dalam perjalanannya. Duka yang dimaksud di sini bukanlah sesuatu yang menakutkan hingga membuat seseorang akan sengsara menjadi santri, tapi adalah sumber kekuatan dari sosok santri, karena apapun kesulitan yang dialami, tanpa kehadiran sosok orang tua di sisi tidak menjadi alasan untuk menjadi lemah dan berhenti.
1) Saat mendengar kabar orang rumah yang sedang tidak baik-baik saja
Biasanya kami sebagai santri mendapat kabar ini ketika berkirim surat atau bertelepon lewat ponsel wali kelas, atau saat jadwal pegang ponsel. Rasanya pedih dan sedih saat ayah di rumah usahanya sedang turun, atau ibu yang tengah sakit karena kelelahan mengurus anggota keluarga yang sakit, biaya sekolah adik-adik yang ditangguhkan karena memprioritaskan kebutuhan kami yang di pondok. Bentuk kalimatnya banyak, tapi biasanya: "nanti ya nak, orang di rumah lagi susah, ayah-bunda usahakan, tapi kami tak janji."
2) Saat sadar berapa banyak biaya yang dihabiskan, tapi belum bisa kerja dan mendapat penghasilan pribadi untuk membalas budi atau setidaknya menjadi mandiri
Mondok/hidup berasrama membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tiket pesawat/kereta untuk pulang-pergi, uang jajan, kebutuhan harian seperti alat mandi, buku tulis, baju, jilbab juga masih banyak lainnya menghabiskan uang yang tidak sedikit. Belum lagi jika ada beberapa pengeluaran tak terduga ketika kami sakit atau harus patungan untuk kelas tapi uang pas-pas-an, tapi di saat yang sama gerak kami terbatas karena tidak bisa sembarangan keluar-masuk pondok.
Belum lagi saat menghitung harga per-item dalam paket kiriman yang kami terima, bisa jadi orang tua kami berhutang demi barang-barang ini, bukan? Meski orang rumah hampir tak pernah bilang tentang kesulitan di rumah, intuisi kami bisa merasakan dari sebuah paket; apakah orang tua tengah kesusahan atau lebih uang di rumah.
3) Saat tertekan dengan jumlah uang jajan teman
Ini bukan lagi tentang bisa jajan puluhan ribu dalam sehari dengan uang jajan yang berlimpah, keinginan untuk traktir teman sejawat, atau memberi hadiah terbaik untuk guru tercinta membutuhkan uang yang tidak sedikit dan bukan pas-pas-an. Kerap, perasaan sedih-kecewa-sadar-diri-harus-bersyukur menjadi satu jika akan teman yang bisa dengan mudah memberikan hadiah untuk guru atau traktir teman sekelas dengan mudahnya dengan uang jajan mereka yang berlimpah itu, sedangkan kami yang pas-pas-an hanya bisa beli keripik 2000-an.
Uang bukan hanya sekedar pemuas nafsu jajan, tapi menjadi media mempererat silaturrahim dan wujud respek. Di saat yang sama, kami sebagai santri juga tak bisa selalu memaksakan kehendak untuk memaksa agar orang tua mengirimkan uang lebih. Meski kami sebagai santri bisa memberikan bantuan fisik dengan membantu asatidz membawakan barang atau mencuci motor dan menjaga anak-anak mereka, kekuatan uang tetap hal yang sangat berpengaruh besar.
Hal ini juga tak menutup kemungkinan untuk menambah teman atau join circle tertentu, bukan dalam artian buruk, tapi memang ada batasan-batasan dalam membangun pertemanan yang akan runtuh jika ada sedikit kekuatan uang.
4) Saat merasa "tertinggal" dengan teman-teman yang sekolah umum/sudah bekerja
Bukan hanya masalah tertinggal pengalaman magang atau berpenghasilan sejak muda dengan teman di luar pondok, tertinggal eksplor yang lebih tanpa batasan "aturan pondok" adalah duka yang terkadang harus kami simpan rapat-rapat agar mendidik kami menjadi pribadi yang sabar dan yakin akan janji indah Allah SWT bagi orang yang bersabar.
Mereka yang di luar bisa eksplor dunia lebih luas karena tidak harus selalu di pondok seperti kami, ke tempat-tempat yang disukai, menekuni hobi lebih dalam tanpa "terpecah fokus" dengan mapel pondok yang seabrek, sekalipun kami ada jadwal perpulangan ke rumah, tak jarang karena terhalang biaya atau alasan khusus lainnya, kami hanya bisa menetap di pondok dan bertahan dengan uang yang pas-pas-an. Kalaupun pulang, terkadang rezeki orang tua tidak selalu mengalir deras saat kami pulang, malah tak jarang ada beberapa kesempatan kami kembali ke pondok dari rumah dengan tangan kosong tanpa uang jajan.
5) Saat tertekan dengan aturan pondok yang "mengekang"
Hal klasik ini bukan yang tabu lagi dibicarakan, meski kami tahu di balik aturan yang bejibun itu ada selipan kebaikan dan berkah, kadang ketika rasa sabar seakan habis dan lelah serta kecewa sudah diujung, kami hanya ingin bisa sedikit "bernafas" tanpa takut iqab atau sanksi yang diiming-imingi sebagaimana di pondok.
Meski asatidz kerap mengatakan: "kalian beruntung terjaga di pondok", "kehidupan di luar sana itu.." dan lain sebagainya, terkadang ada rasa ingin sedikit "lebih bebas" dari kehidupan pondok yang terkadang seketat militer ini meski kami tahu kebaikan yang akan dan yang telah kami dapat.
6) Saat mempraktekkan niat untuk serius belajar
Mau se-religius, se-ambisius, se-ilmiah apapun suasana belajar di pondok atau sekolah, tak menutup kemungkinan tetap ada santri yang malas-malasan belajar, tidur di kelas, muthalaah pelajaran jarang, hanya merepotkan teman yang pintar atau yang banyak catatannya beberapa hari sebelum ujian dengan panik bertanya. Spesies seperti itulah yang kerap menjadi ujian besar untuk keseriusan niat kami. Tak jarang kami terlena dan sibuk bermain dengan teman tanpa ingat apa prioritas kami berada di pondok pesantren.
Segalanya memang tidak selalu mudah, tapi bukan berarti selalu sulit. Segala pengalaman yang disebutkan menjadi kekuatan besar untuk bertahan di dunia luar setelah lulus nanti, bukan menjadi alasan santri untuk menyerah dan bermental yupi dan menye-menye. Semoga, siapapun santri yang tengah menempuh perjuangan di pondok atau kehidupan luar pasca lulus selalu dikuatkan iman dan kebiasaan serta mentalitasnya saat pondok, semoga ini menjadi refleksi bagi kita bahwa ketidakidealan dan ketidaknyamanan tidak menjadi alasan untuk menyerah.



Komentar
Posting Komentar