Tentang Ujian Hidup Atas Kelahiran Kita Yang Tak Diminta
Mungkin statement ini akan banyak pro-kontra-nya, saya pribadi juga tidak memaksakan kehendak. Tapi, ada benarnya bahwa hal ini patut dipertimbangkan dan diketahui, bahwa ini bukan asal bunyi omongan saya.
Banyak yang mengeluh atas kelahiran yang tak kita minta, orang tua yang tak bisa kita pilih, atau strata keluarga tempat kita lahir. Semua itu bukanlah ranah kendali kita, tapi kita perlu percaya dan paham bahwa semuanya tidak dijadikan dengan ketidakbergunaan.
Kecoa adalah makhluk Allah yang kerap saya kesali dan tanya-tanyakan kenapa dia ada di dunia ini. Hal sama juga trjadi dengam bakteri, virus Corona, orang-orang zhalim, koruptor dan hal-hal ngeselin lainnya. Meski saya paham keberadaan mereka adalah untuk menunjukkan betapa jeleknya orang bodoh dan tidak ingin tahu karena sombong, banyak hal dan penjelasan yang belum memuaskan rasa kepo dan kesal karena bertanya-tanya yang sama miliki.
Hingga satu hari bunda saya menanyakan pertanyaan retoris yang cukup menghantam saya, menyadarkan bahwa saya kurang banyak bersyukur dan tidak bisa melihat manfaat dari ciptaan Allah selain manusia; "siapa yang mau makanin sampah organik kalau bukan kecoa, kak? Siapa yang menyuburkan tanah kalau bukan mikroorganisme yang mengolah mayat di tanah?"
"Kan manusia memang diciptakan lemah, karena Allah nggak mengizinkan ada yang sempurna selain-Nya."
Manusia diciptakan dengan bentuk sebaik-baiknya, itu hal yang diharapkannya tidak akan membuat manusia terlalu rendah diri. Tapi, dengan iming-iming "sebaik-baiknya penciptaan" itu, kerap ada manusia yang lupa bahwa di lain firman-Nya, ia adalah makhluk yang lemah, dibuat penuh kecemasan tanpa mengingat-Nya.
Kalau kita mengatakan sebuah pulpen diciptakannya hanya karena gabut, tanpa manfaat berarti lainnya tentu itu adalah hal yang aneh dan tidak masuk akal bukan? Masa iya se-tidak berguna itu? Padahal, sejatinya ia bisa digunakan untuk menulis dan mencatat hal bermanfaat.
Jika kita sebagai manusia saja merasa adanya kita di dunia adalah hal yang tidak berguna dan tidak akan berdampak apapun, masa iya kita lebih tidak berguna dibanding pulpen?
Allah SWT mencintai hamba-Nya dengan love language yang indah dan intim. Karena tidak semua hamba-Nya dapat memahaminya. Apa yang kita lakukan ketika kode-kode agar kita dimengerti oleh orang malah tidak dipahami, disalahpahami atau bahkan kita malah diperlakukan buruk? Tentu kita marah. Tapi Allah tidak.
Allah selalu memberikan kesempatan bagi hamba-Nya yang tidak memahami bentuk cinta-Nya untuk bertaubat dan memahami "cara main"-Nya.
Atas nama semua trauma dan pengalaman pahit kita, alangkah sulitnya memahami itu semua. Wajar kita tetap merasa berat degna segala ujian hidup, berbagai ke dalam dan tekanan yang selalu ada, tapi solusi yang kita inginkan tidak selalu datang saat kita inginkan.
Karena kita hanya manusia yang diciptakan lemah, dari setitik air yang hina tapi dinaikkan derajatnya dengan kasih sayang Allah. Allah yang bahkan kita hanya menyebut nama-Nya saat meminta dalam do'a, pun do'a juga dengan paksaan agar segera dikabulkan.
Tapi, apakah semua itu tidak berguna? Tidak. Semua jatuh-bangun dan angin-badai yang telah kita alami memberi kita banyak pembelajaran, bahkan membuka mata hati kita; bahwa Allah selalu ada dan membuka pintu rahmat-Nya untuk kita.
Saat kita jatuh ke level -300, segala impian indah di level 100-300 nampak begitu mustahil untuk kita capai. Apalagi dengan diri yang sudah lelah. Tak apa, toh kita diciptakan dari titik 0, titik yang tidak bernilai sebagaimana angka selainnya, tapi tetap penting karena di sanalah semuanya bermula. Dari level -300, kita bisa memanjat kembali ke level 0, memulai semuanya lagi. Berusaha lagi. Bangkit lagi.
Apakah kita mulai dari "awal" lagi? Tidak. Meski orang-orang melihat kita masih mulai di level 0 atau 1, 3, 5, tapi jauh di belakang kita sudah pontang-panting lebih dulu. Penglihatan dan penilaian manusia tidak bisa dijadikan patokan dari mana kita mulai berjuang.
Tak apa merasa lelah teramat hjngga hampir hilang harapan, karena itulah kondisi yang harus ada pada diri manusia agar dirinya tidak lupa daratan. Agar kita sebagai manusia hanya mengandalkan diri pada-Nya.
Proses pemahaman dalam hal ini memang rumit dan tidak mudah. Tapi, kita sebagai manusia bisa memilih. Kalau ingin mudah ya sansarkan diri pada pertolongan-Nya, kalau ingin sengsara ya sok mandiri saja sana.
Hidup ini berat dengan ditanggung sendirian. Seiring masalah yang pasti bertubi-tubi datang, bukankah aneh kalau kita hanya bersandar pada diri sendiri dan manusia di sekitar kita yang juga lemah dan tidak pasti selalu ada?
Maka, sandarkan semuanya pada-Nya yang kekal dan pasti janj serta pertolongan-Nya.

Komentar
Posting Komentar