Fa Aina Tadzhabun? (Ke mana kamu akan pergi?)
![]() |
| ilustrasi bepergian/sumber: www.freepik.com |
“Ini bukumu, Oi,” ucapan salah satu adik kelas yang bermaksud mengembalikan bukunya memecah fokus pada bacaan Qur’an saya sejenak di Kamis siang, sebelum zhuhur, ketika orang-orang tengah tepar baru pulang dari sekolah. Beberapa saat yang lalu ia terlihat tengah membongkar tumpukan tas di belakang lemari, hendak packing untuk perpulangan esok hari.
“Oh,” menyadarinya segera tangan kanan saya meraihnya, menyimpan Qur’an kecil sejenak di paha kiri. “Udah lama banget, lho ini. Dari jaman aku UK. Tahun 2020-an…” membolak-balik buku tersebut beberapa kali, agak terkesiap karena sampul dan kondisinya masih cukup bagus. “Kirain udah ilang.”
Lumayan, waktu itu prosesor otak saya belum secepat sekarang (gak tahu juga si sekarang udah secepet ‘itu’ atau belum, cuma setidaknya nggak se-lemot waktu itu) dalam baca kitab, jadi buku terjemahan kitab jadi second reference setelah kamus Munawwir Arab-Indonesia yang gedenya segambreng itu (tapi kayaknya kalau dipikir-pikir saya dulu lebih sering pake terjemahan langsung daripada buka Munawwir, pusing). Sekarang, cuma bisa senyum-senyum nostalgia liat junior-junior di pondok yang masih level awal, kelas 1-2, bawa-bawa Munawwir kemana-mana kalau beberapa hari lagi atau besoknya udah jadwal baca kitab. Yang kocaknya, seringnya itu kamus jadi bantal pas muthalaah malem, semangat nyari artian mufradat pupus sama rasa lelah belajar seharian (padahal pas belajar juga banyakan tidur di kelas…. (berdasarkan pengalaman pribadi)).
Buku yang dimaksud adalah Terjemahan Kitab Ta’lim Muta’allim Thariiqut Ta’allum, karya Syeikh Az-Zarnuji. Kitab klasik dan pasti akan dilampaui oleh semua santri di awal perjalanan belajar membaca kitab. Itu termasuk kitab dasar tentang adab-adab belajar, penuntun proses belajar bagi seorang murid atau santri. Terdapat juga beberapa syair yang digubah, menambah kekayaan penjelasan dan contoh, bukan terbatas pada penjelasan linier saja.
Sejenak saya menatap buku terjemahan itu lamat-lamat, lalu memutuskan untuk menuntaskan tilawah lebih cepat. Setelahnya, sambil rebahan di lantai kamar yang dingin, saya membuka dan membaca kembali guratan-guratan zaman masih awal mondok dulu. Mengingat perjuangan nerjemahin satu dua paragraf aja pusing dan mulesnya seminggu, resah tiap malam, rungsing takut gak bisa I’rab atu baca artinya, pada akhirnya tetep tidur setelah capek overthinking.
Beberapa baris terjemahan tentang semangat menuntut ilmu, pentingnya ketahanan seorang penuntut ilmu dalam belajar karena itu adalah proses yang tidak mudah menarik perhatian sejenak. Mata saya bergulir dan membaca tiap kalimat yang ada penuh penghayatan.
Menuntut ilmu bukanlah jalan yang mudah, maka hendaknya bagi seorang penuntut ilmu untuk bersabar dan menahan lelah serta mengorbankan waktu tidurnya. Bagaimana seseorang berkehendak untuk berhasil pada tujuan akan tetapi tidak mengorbankan waktu istirahatnya dan membuka mata di malam hari (untuk muthalaah dan belajar)? Sungguh, sebesar itu usahamu, sebesar itu pula pendapatanmu. Seseorang akan mendapat sebesar apa yang diusahakannya, jika ia berpayah-payah, maka kepahaman sempurna akan satu ilmu-lah yang didapatnya, jika ia hanya berleha-leha dan tidur awal (tanpa ada niat untuk belajar) sungguh kebodohan-lah yang didapatnya.
Kalimat-kalimat semacam itu yang saya baca berulang-ulang. Sembari kangen untuk kembali ke masa belajar Ta’lim Muta’allim saat kelas 2 Shou-Lin dulu, pun semangat-semangat belajar yang mulai pudar itu diingat kembali. Dirajut dengan asa dan cita-cita untuk menjadi muslimah yang baik dan taat.
Di tengah kesemrawutan dan masalah yang tengah dialami, hendaknya kita untuk tidak melupakan tujuan awal kita dalam perjalanan yang tengah kita tempuh. “Tapi dari awal saya juga gatau buat apa saya mondok/belajar/sekolah/kuliah/kerja ini?” ya berarti salah kita tidak berusaha membangun tujuan atau purpose dan goals kita selama ini. Allah SWT sudah memberikan kita banyak waktu, nikmat dan tenaga, kenapa kita tidak menggunakannya selama ini? Seringnya kita ini terlena dengan nikmat yang ada. Misal, di pondok, karena terbiasa diberikan uang dan bekal setiap bulan, kita terlena dan akhirnya tidak fokus belajar. Lebih ribet lagi kalau dari awal memang niatnya gak jelas di pondok mau ngapain, isi kesehariannya cuma makan bareng sama temen, ngobrol gak guna sepanjang jam muthalaah ataupun tidur di kelas tanpa review pelajaran lagi. Pada akhirnya dekat-dekat hari ujian, dia rungsing dan ngelendot ke teman yang tekun dan rajin belajar sepanjang hari, minjem rangkuman dan catetan dan gangguin dia setiap hari, akan berhenti kalau dia sudah selesai ujian.
Spesies seperti itu adalah sosok yang amat sangat tidak pantas dan patut direspeki. Hanya haus akan afirmasi dan menjalani hidup tanpa tujuan yang jelas.
Saya berpikir lagi sambil membaca-baca syair lainnya dalam terjemahan kitab tersebut, tentang betapa banyaknya penuntut ilmu yang lalai, ia termasuk manusia yang tidak jelas arah hidupnya, tidak tahu apa passion-nya. Boro-boro cita-cita, hari ini mau ngapain aja berjalan begitu aja tanpa ada perkambangan dan spirit menjadi lebih baik kedepannya. Ia tidak mau mempersembahkan yang terbaik bagi dirinya di masa depan; dirinya yang berilmu dan sudah mapan secara aqidah, intelektual, emosional dan spiritual. Maka, dengan perasaan yang tiba-tiba tersentuh, saya meletakkan terjemahan tersebut di lemari sambil memohon perlindungan kepada Allah SWT agar tidak termasuk dalam spesies yang telah dijelaskan.
Sejenak. Hanya dengan seperti itu, tentang ke mana saya akan pergi, apa yang saya cari, semangat yang hanya berupa butiran dan penuh dengan keputusasaan seketika meluap dan digantikan dengan semangat baru. Siklus ini terus berulang, jatuh-bangun, yang semoga terus pada grafik di atas, menunjukkan perkembangan dan peningkatan pesat bahwa perjalanan ini tidak hanya menghabiskan uang semata.
Semoga dapat membuat hati dan pikiran pembaca sekalian tergerak. Aamiin…


Komentar
Posting Komentar