Bersama Jajan, Aku Bertahan

Ilustrasi supemarket

"Oi kerjaannya jajan mulu!" Satu hari sepupu saya yang satu pondok menyemprot saya dengan kalimat itu di kesempatan perpulangan ke rumah. 

Padahal uang jajan saya nggak banyak. Hanya 100-120 ribu/bulan. Meski boleh minta lebih, tapi saya suka menimbang kebutuhan dan kedesakannya. Kalau memang tidak penting atau sedang tidak ada banyak tugas yang harus di-print, ya sudah se-dikasihnya saja. Bahkan diberi 30-50 ribu/bulan pernah, dan saya alhamdulillah nggak pernah kelaparan.

"Hemat Oi, nabung!" Kala itu saya mengakui kalau saya boros sih di jajan. Tapi, saya ini konsisten jajan hanya 2 ribu sehari, benar-benar hanya 2 ribu, bahkan penjaga kantin hafal saya akan jajan apa. Karena kantin pondok terletak di tempat strategis semua orang sering berlalu-lalang ya jadi saya keciduk jajan mulu.

Oleh karena itu, mulai saat itulah saya berpindah haluan.

Jajan ke adik kelas. 

Memang sama-sama jajan, tapi kali ini ada benefit yang bertambah. Saya jadi mudah dekat dengan adik kelas. Terutama adik kelas tahun pertama dan kedua yang suka takut kalau ketemu saya dengan badan saya yang tinggi besar dan katanya lirikan mata saya kayak mau makan mereka. 

Ya.. yang namanya resting face dan jarang ngobrol wajar nggak sih jadinya kesannya begitu? 

Yang jelas, saya ini orang baik kok, kenapa judge kepribadian orang dari raut muka sih? Coba sesekali ajak ngobrol, pasti rasanya beda. Seperti kalimat adik kelas saya ini:

"Kak Oi kalau lagi jajan ke kamar kita, ngobrol sama kita dan diem beda banget." Ini komentar yang pernah saya dapat ketika saya tahu kalau adik kelas tahun kedua (saya tahun keenam btw) open sale, jadi jajanan yang di paket mereka mereka jual dengan harga murah! Murah yang kebangetan! Meski katanya kerap disamakan dengan standar harga makanan di kantin, kalau kakak kelas yang jajan ke kamar mereka (termasuk saya, apalagi itu, saya mah langganan) hampir selalu digratiskan.

"Beda gimana?" tanya saya sambil nimbrung dan nongkrong di kamarnya sebentar. Menghabiskan jajanan sambil quality time biar saya nggak dikira kakak kelas yang galak mulu.

"Kayak transisi ekspresinya gitu, lho. Kalau diem atau fokus jutek banget, kalau ngobrol ya langsung ada ekspresinya. Cheerful gitu.." Terang adik kelas saya. "Nih buat kakak lagi, kamar kita selalu sepakat untuk gratisin jajanan yang mau dibeli kakak kelas, kalau bisa kasih tambahan."

"Waduh, jangan keseringan." Saya menolak meski dalam hati mau banget. "Simpen juga buat kamu, jangan semuanya dijual. Orangtua beli kan buat kamu nikmaitn, bukan buat dijual doang."

Adik kelas saya tahun kedua waktu terlalu baik. Mereka tak sadar sering dibodohi dan diperalat keluguan dan kepolosannya dalam berbagi makanan oleh orang-orang yang tidak tahu diri. Ada yang bilang atas nama keroyalan adik kelas ke kakak kelas jadi minta digratisin, ada juga yang (seringnya si) ya karena udah membentuk image sendiri di kepalanya tentang seorang kakak kelas, si adik kelas tahun kedua ini jadi suka takutan dan parnoan sendiri, akhirnya ngasih jajanan gratis ke si kakak kelas biar ceritanya nggak digalakin dan dianggap adik kelas yang baik.

Seringnya, poin terakhir yang terjadi. Meski saya juga suka menyeimbangkan; ngasitau kakak kelas lain kalau belanja/jajan sama mereka ya langsung bayar atau makasih kek. Bayangkan, mereka bisa jual 3 goriorio seharga seribu, sari gandum umbo cuma 5 ribu, energen jumbo hanya 2 ribu (kalau saya sering dikasi gratis karena energen adalah item yang paling sering saya beli di kamar mereka, haha). Mereka memang mayoritas anak orang kaya yang kebanyakan uang dan jajanan, jadi daripada menuhin lemari, mending bagi dan jual aja jajanan mereka.

Fun fact, mereka juga suka dipinjemin uangnya, saking banyaknya uang mereka. Saya bahkan pernah dikasih 20 ribu, dikasih ya! Saya nggak minta! 

"Biar kak Oi makin lancar belajarnya dan sayang sama aku, nih aku kasih 20 ribu."

Rasanya terharu-kocak jadi satu gitu. Jadinya saya yang terharu menerima uang dari anak sepantaran mereka, dengan looks saya yang jumbo ini aneh dan lucu banget melihat saya salimin tangan mereka karena suka ngasih jajanan dan uang. Hal ini menumbuhkan ikatan emosional dan hubungan yang harmonis antar adik-kakak kelas. 

Bersama jajan, saya bukan hanya bertahan dari pusingnya tugas menumpuk dan menjadikan jajan sebagai pelampiasan atau pelarian, tapi jajan ke adik kelas juga suka mendatangkan hiburan gratis dan kenangan yang insyaallah akan selalu  mereka ingat; bahwa saya adalah kakak kelas yang cukup berkesan buat mereka.

So, bersama jajan, saya bertahan, mengukir kenangan, dan berkembang.

Komentar

Postingan Populer