Mapel Sejarah Sebelum vs Sesudah Mondok

 

ilustrasi sejarah

Mata pelajaran sejarah bukanlah opsi dan minat utama bagi saya, tapi saya kerap menikmati dan tetap merasa memelajarinya adalah hal yang penting. Tapi bedanya, saya yang biasa memasang standar "bare minimum" yang tinggi meski di hal dan pelajaran yang tidak saya sukai, kalau dalam sejarah ini saya tidak tertarik untuk sebegitunya. Hanya ingin sekedarnya saja. Buat saya yang cenderung IPA, bedah ikan kembung lebih menarik dan seru meski mendengarkan kisah menggugah perjuangan pahlawan nasional juga menggebu-gebu.

Semua rasa "biasa" itu berubah total sesaat setelah saya masuk ke pondok. Tahun pertama saya belajar tentang proses hindianisasi nusantara. Yang intinya, agama Hindu dan Buddha itu bukan asas peradaban dan sejarah Indonesia, yang benar itu Islam-lah yang paling berjasa dan berperan besar dalam sejarah bangsa kita ini. 

Tapi, hal sesederhana itu baru saya pahami saat tahun ketiga di pondok. Saya nggak bohong, memang bisa se-telat mikir itu otak saya. Makanya saya bingung kok bisa saya lulus dua tahun awal dengan ketidakpahaman saya dengan materi dasar seperti itu?

Tapi saya tidak pernah merasa saya payah dalam hal ini. Hanya perlu menambah minat dan membaca saja. 

Yang membuat saya syok, ternyata membahas satu konferensi dan satu upacara adat itu bisa menggunakan puluhan referensi buku. Dan yang lebih syok lagi, bukunya sebagian besar berbahasa inggris, jawa, dan belanda. Belum lagi ada yang namanya babad jawa, babad apalah itu, banyak pokoknya. Meski yang ditunjukkan di kelas adalah versi terjemahan, tapi saya nggak pernah nyangka kalau sejarah bisa se-rumit ini.

Bukan lagi tentang menghafal nama tokoh dan tanggal peristiwa, tapi ia membawa saya jauh lebih dalam, seakan mengajak saya untuk memosisikan diri bagaimana rasanya menjadi pelaku sejarah, memahami budaya setempat yang berlaku seiring sang tokoh nasional itu tumbuh, berkembang dan belajar. Belum lagi memahami pemikiran tokoh yang ternyata amat kompleks. Pemikiran pendidikan, politik, sosial, budaya, bagaimana seorang tokoh berpolitik dengan pejabat tapi tidak dimakan korupsi, bagaimana kiprah ulama di abad pertengahan memengaruhi ulama abad 20. 

Segalanya berhubungan dan berkaitan, tidak berupa dikotomi dan menghafal istilah saja.

Lalu saya mikir, "wah, seru juga ya sejarah bisa se-daging ini rasanya, bukan cuma bumbu receh sebatas hafalan doang."

Tapi entah kenapa saya nggak begitu tertarik mendalami lebih, membaca literatur dan manuskrip hingga menganalisa babad-babad dan peninggalan di masa lampau. Rihlah sejarah yang saya jalani di pondok pun hanya berkesan selama di bus atau pengalaman bersama teman, kalau di sesi ke tempat bersejarah saya hanya banyak mencatat agar tidak tidur dan menghargai pemandu. 

Tapi, bukan berarti saya underestimate. Hanya saja saya heran, kenapa saya susah menumbuhkan ketertarikan? Kenapa rasanya 'plain' aja meskipun saya dipertemukan dengan doktor sejarah terkemuka? Kenapa rasa kagum atas perjuangan tokoh hanya sekejap mata? Apa yang salah ya? Apa saya begini salah? Tapi saya masih mengusahakan yang bisa saya lakukan. 

Memperjuangkan suatu pelajaran hanya dengan tolak ukur suka-tidak bukan hal yang adil. Kita harus transparan melihat kebermanfaatan dan keberkahan yang bisa didapat. 

Apa saya banyak dosa? Apa jangan-jangan ilmu saya nggak berkah?

Saya banyak mikir. Karena takutnya saya yang salah. 

Tapi, as long as i enjoying it, bukan masalah besar. Hanya saja, tingkat intensif dan kedalam saya memelajari sejarah ya tergantung prioritas. Karena saya tidak kuliah pendidikan sejarah/ilmu sejarah, ya pasti urutan prioritasnya bukan di kelas pertama. Apapun itu, saya bersyukur bahwa sejarah tidak sedangkal yang saya pahami sebelum mondok. 

Komentar

Postingan Populer