Pertamakali Ujian Sejarah LISAN
![]() |
| ilustrasi ujian lisan |
Mampus lah saya yang namanya "Khalidah" dan nomor urut 15 dari 24 orang. Kurang "tengah" apa lagi itu coba?
Karena saya nggak suka menghabisan waktu untuk energi negatif. Dibanding misuh-misuh sambil mengeluh ke teman saya yang mana mereka juga panik dan nggak tenang karena setelah kloter saya ini nggak tahu siapa yang bakal dipanggil, saya menghela nafas pelan sambil melemaskan pundak. Mengambil bangku yang persis di depan ustadz, karena cuma itu sisa bangkunya. Saya santriwati sendirian yang di absen tengah, jadi hanya ada saya bersama 4 teman ikhwan lainnya di kloter ini.
"Khalidah nggak bawa buku?" ustadz yang menguji sejarah menatap saya heran. Ya, meski ujian kali ini open-book, energi saya sudah habis dengan terkejut dan gugup. So, saya yang alhamdulillah selalu review materi setiap sebelum dan sesudah belajar, bismillah, mengandalkan ingatan saya yang pas-pas-an. "Bagus juga kamu," saya nggak tahu itu memuji atau apa, tapi yang jelas saya hanya akan banyak gelagapan kayak orang anxiety kalau mata bolak-balik memejam dan membaca tulisan dan di saat yang sama saya harus jawab dan berebut menjawab pertanyaan. Open-book di kondisi ini nggak cocok buat saya.
Orang saya banyak muthalaah, malu-maluin banget kalau masih nggak yakin sama diri dan malah ngandelin catetan? Lagi banyaknya pas pelajaran sejarah saya ngantuk dan nggak ngerti, jadi melihat catatan saya ya nggak guna juga.
Kalau diingat-ingat, saya nonchalant banget waktu itu, hahay.
Waktu itu materi ujian tentang Pangeran Diponegoro. Saya makin pasrah karena saya hanya menguasai 30% dari total materi. Tapi, keajaiban dan pertolongan Allah SWT itu datang sesuai ketentuan-Nya, dan di saat Ia tahu bahwa kita membutuhkannya, bukan semau kita.
Saya menjawab pertanyaan dengan cukup lancar. Lebih dari prediksi saya. Nggak se-lancar itu, nggak se-ngadet itu juga. Lah saya belajar kok. Sekali lagi, SAYA BELAJAR KOK. Tapi ya memang tidak menghasilkan jawaban yang sesuai standar kalau mau dapat nilai 95 ke atas.
Intinya yang saya usahakan itu, TENANGKAN DIRI. Jujur itu yang terpenting. Dan jangan lupa; JUJUR. Kalau cuma bisa jawab dua kalimat ya akui itu.
"Kamu cuma jawab 2 kalimat aja?" ustadz penguji saya menatap saya dengan tatapan yang kurang lebih artinya; "seriusan segini doang, Oi? Kita belajar nama tokoh banyak lho yang berkaitan sama Pangeran Diponegoro" setelah saya menjadi orang pertama yang menjawab pertanyaan terakhir dengan mengangkat tangan cepat, seakan menunjukkan bahwa saya adalah orang yang paling tahu jawabannya dan bisa menjawab dengan sempurna.
"Iya ustadz. Itu yang saya ingat."
Kan? Jujur aja. Kalau masalah diomelin atau di-cap males, lalu ditegur dan dipanggil ke ruang guru belakangan.
Kalau kitanya sudah tenang, meski banyak gebrakan dan hal yang menguji mental dan bikin takut selama ujian lisan, akan terasa lebih mudah dan cepat terlewati.
Saat pengumuman nilai, alhamdulillah saya dapat 82. Persis seperti prediksi saya; takkan sampai 87, tapi akan di atas 79. Gimana caranya saya ada feeling kayak gitu? Nggak tahu, muncul gitu aja.
Yang jelas, yang membuat saya jauh lebih senang adalah, hari itu hanya saya yang tidak bawa buku. Semua teman saya bawa buku tulis, buku paket dan buku catatan lain. Setidaknya saya sadar bahwa mental saya cukup kuat. Meski nilai saya ya biasa banget.
Bukan berarti saya paling pintar, toh nilai saya nge-pas banget.
- Saya tahu apa yang harus saya tingkatkan dan usahakan dengan close-book sendirian. Meski kesannya agak sombong, bodoh, dan nekat,
- buat saya itu adalah tantangan yang bukan hanya harus dihadapi dengan jawaban yang sempurna, tapi mental yang siap dihantam pertanyaan dan sikap-sikap tegas penguji, apapun bentuknya.


Komentar
Posting Komentar