Fiqh Oh Fiqh: Edisi Fiqh Darah Wanita
![]() |
| ilustrasi kram haidh/menstruasi |
Buat banyak orang—termasuk yang sudah lama nggak ngaji mapel umum atau kitab—fiqh darah wanita sering terasa paling ruwet, bikin pusing, dan penuh pengecualian. Bahkan santri senior pun kadang masih buka catatan. Padahal, keribetan ini bukan tanpa alasan.
Pembahasan darah dalam fiqh wanita ini seperti tidak ada habisnya. Karena memang se-detail dan kompleks itu. Warna darah tidak hanya merah; ada hitam, coklat, kuning, kehitam-hitaman. Belum lagi menentukan bagaimana hukum shalat bagi wanita tersebut, karena bukan hanya asal keluar darah seorang wanita bisa mengira itu darah haidh. Bisa saja itu darah istihadhah yang mana meski begitu wanita tetap wajib shalat.
Kalau begitu, akan menyangkut pula ke tata cara shalat khusus bagi wanita yang memiliki kondisi demikian. Apakah sesederhana itu? Tidak. Ada wanita yang terus menerus keluar darah selama hidupnya, bagaiman dengan shalatnya? Apakah perlu disumpel atau diharuskan menikah dulu? Bagaimana memastikan tidak ada darah yang menetes sedikitpun ketika akan shalat sedangkan ada jeda antara membersihkan darah yang keluar hingga persiapan shalat?
Itu semua belum sepaket dengan perdebatan ilmiah perdebatan antara ahli fiqh haidh dan dokter kandungan yang pasti memiliki referensi primer yang sama kuat dan pentingnya. Apakah ini sebuah anugerah atau masalah? Apa faktor-faktornya? Ada tiga faktor utama kenapa ulama fiqh membahasnya sedetail itu.
1. Karena Berkaitan Langsung dengan Ibadah Wajib
Darah haid, nifas, dan istihadhah menentukan sah atau tidaknya ibadah seperti shalat, puasa, thawaf, dan hubungan suami-istri. Salah klasifikasi darah = salah hukum = ibadah bisa batal. Karena taruhannya besar, ulama tidak bisa asal menyederhanakan. Mereka harus memastikan wanita tidak terbebani ibadah saat terlarang, tapi juga tidak meninggalkan ibadah saat sudah wajib.
2. Kondisi Setiap Wanita Sangat Berbeda
Tidak ada satu pola darah yang seragam. Ada yang haidhnya teratur, ada yang maju-mundur, ada yang bercampur dengan penyakit, stres, atau efek melahirkan. Fiqh harus menjawab kasus nyata, bukan teori kosong. Maka muncullah pembahasan seperti adat haidh, mumayyizah, ghairu mumayyizah, darah kuat-lemah, dan seterusnya. Ribet? Iya. Tapi itu demi keadilan hukum bagi setiap kondisi wanita.
3. Ulama Sangat Hati-hati dalam Menjaga Syariat
Ulama fiqh zaman dulu terkenal overthinking dalam arti positif. Mereka takut salah menetapkan hukum atas sesuatu yang Allah beri peran besar dalam kehidupan wanita. Darah bukan sekadar biologis, tapi juga beririsan dengan kesucian, ibadah, dan hak-hak perempuan. Karena itu, mereka membedahnya pelan-pelan, detail, dan penuh kehati-hatian.
Fiqh darah wanita itu ribet bukan karena ingin mempersulit, tapi karena ingin melindungi ibadah dan martabat wanita. Kalau terasa berat, itu wajar. Bahkan ulama pun menulis kitab khusus ratusan halaman hanya untuk tema ini. Jadi, pelan-pelan saja—yang penting niat belajar dan tidak meremehkan.
Berdasarkan catatan takhassus/kelas khusus kitab Risalah al-Dima' (Risalah Tentang Darah) bersama ust. Ahmad Damsah Nasution di Pondok Pesantren At-Taqwa Depok pada 22 Maret 2025/22 Ramadhan 1446 H


Komentar
Posting Komentar