Sedikit Keheranan Tentang Cita-Cita Menjadi Pemain Bola


Bisa baca artikel ini sambil putar lagu di video, ya.

Sering kita temui, dalam seminar atau sesi perkenalan, kita akan dituntut menjawab pertanyaan tentang cita-cita. 

Contoh, selama saya di pondok; lebih tepatnya 2 tahun terakhir saya. Masa-masa di mana kita mulai memikirkan masa depan setelah lulus lebih serius. Terkadang pikiran buruk suka datang yang membuat niat goyah, akhirnya ada yang memutuskan untuk keluar pondok di tahun terakhir, atau lulus dengan penuh penyesalan dan insecure karena merasa tertinggal dari teman-temannya yang tidak mondok. 

Jawaban dari pertanyaan tentang cita-cita yang paling saya dengar adalah "saya mau jadi pemain bola!". Keheranan saya di sini bukan tentang menjadi pemain bola-nya. Ada anak tahun terakhir mondok masih menjawab demikian, di mana harusnya kader untuk menjadi atlet itu ditempa sejak kecil, umur 4-6 tahun (bahkan mulai dari umur 6 tahun sudah bisa dibilang terlambat). Rasanya aneh bagi pemikiran saya bahwa sesuatu itu harus linier agar mendapat hasil yang maksimal.

Ya, keajaiban memang bisa terjadi jika Allah SWT berkehendak. Tapi nekat juga bukan pilihan yang bijak. 

"Aku mau kuliah farmasi tau pas lulus nanti," misal ada kalimat seperti ini saat sedang resah tentang kuliah. Saya selalu meresponnya dengan mengerutkan kening heran; udah tahu masuk pondok ini yang notabene kurikulum-nya full IPS, kenapa memutuskan untuk kuliah farmasi yang IPA banget? Ya, selagi orang itu mampu menjalani saya sih tidak berkomentar lebih jauh.

Hanya saja, yang sangat-amat-aneh sekali menurut saya, kalau seorang santri di pondok bilang "dari dulu aku pengen banget jadi pemain bola, atlet balap mobil/motor, dokter tau" ya kenapa nggak milih sekolah yang mendukung itu? Atau setidaknya jangan ke pondok ini yang jelas-jelas kurikulum belajar banyak menunjang per-IPS-an. Kan' nggak jalan logikanya gitu lo. 

Aneh banget bagi saya. Jujur. Banget. Ini. 

Tapi, masih cukup logis ketika dia mondok di pondok modern yang memfasilitasi lengkap aspek akademik sampai non-akademik. Ada laboratorium kimia, lab bahasa, lab komputer, alat musik untuk ekskul seni dan musik, lapangan futsal dan basket yang layak, bola basket dan sepak yang layak dan premium, dan sebagainya.

Kalaupun dia masuk karena dipaksa atau karena pilihan lain, ya itu resiko yang harus ditanggung. Kita bisa memilih dan mendiskusikan dengan orang tua. Pilihan yang dipertimbangkan dan dijalani dengan sungguh-sungguh tidak akan membuat kita menyesal saat sudah lulus  nanti. 

Yang saya herankan dan agak greget adalah mereka yang tetap meng-aduh-aduhi cita-cita mereka yang sangat tidak  masuk akal jika dibandingkan dengan usaha dan jalan pendidikan yang mereka tempuh.

Kalaupun bisa mulai pelatihan menjadi pemain bola setelah lulus pondok, untuk jadi profesional, pasti usaha yang dikerahkan harus lebih kuat dan waktu efektif yang dibutuhkan juga lebih lama. Kan' harusnya kita menjalani jalan menuju cita-cita besar dan impian di masa depan dengan usaha kecil yang realistis, serta estimasi waktu masa produktif kita sebelum lansia nanti.

Sekali lagi. Keajaiban memang bisa terjadi, bisa aja saat lulus pondok, kegemaran main futsal di pondok membuat kakinya lincah dan lolos seleksi pelatihan timnas dengan mudah, ternyata om-nya atau ada kenalan yang bisa bantu koneksi informasi dan kebutuhan biaya lainnya yang diperlukan, atau apapun itu. Tapi, tetap harus ada ikhtiar dengan memilih jalan yang realistis dan linier; ikut pelatihan pengkaderan atlet sejak dini untuk mencetak atlet terbaik di masa depan nanti. Ya kan?

Tapi, apapun alasannya, kalau sudah terlanjur terjadi ya jalankanlah dengan ikhlas dan ridha. Karena kita tidak pernah tahu hadiah apa dari Allah SWT yang ingin diberikan pada kita dengan memberikan takdir hidup yang penuh plot twist. Tetap semangat selalu semuanya! Kalau pembaca juga punya kisah hidup yang plot twist, boleh juga dong share di comment section, ditunggu ya kisahnya!



Komentar

Postingan Populer