Ketika Randomly Disuruh Pacaran
"Sendirian aja, mbak?"
Suatu sore, saya mengajak adik kelas yang mukim di pondok untuk ketemuan demi makan mie ayam bersama. Tapi, dia masih dalam perjalanan kembali ke pondok, maka saya putuskan untuk menunggunya di dekat asrama.
Di sebelah asrama putri, ada rumah cat krem tempat ibu-ibu pengajian dan wirid. Karena saya pegal juga menunggu sambil berdiri, jadi saya duduk di situ.
Tak lama kemudian, datanglah kurir paket dan mengetuk pintu, sang pemiliki rumah atau seorang ibu-ibu paruh baya keluar dan membayar paket tersebut. Melihat ada saya, beliau menyapa: "nunggu siapa. mbak?"
"Ada temen bu, udah janjian tapi dia masih di jalan. Saya izin nunggu di sini ya, bu."
"Gak papa-gak papa, sok." Sang ibu duduk di sebelah saya. Feeling saya mula nggak enak.
"Waduh jangan-jangan diajak ngobrol lagi..."
Dan bener.
"Santri sini, ya?" Ternyata muka saya masih ada santri-santrinya ya meski saya sudah tidak mondok lagi. Saya mengangguk. Berusaha memberikan respon terbaik agar tidak di-cap biadab dan kembali membaca e-book di ponsel saya.
"Mau kemana? Nunggu siapa?" Si Ibu nanya lagi.
"Makan deket sini bu, bareng sama adek kelas saya yang mukim di sini."
"Oh iya, kemaren santri baru pada pulang, tuh."
"Hehe, iya bu..." Karena saya ingin jago basa-basi dan menjadi sosok yang agak humble, akhirnya saya simpan ponsel saya di pangkuan dan ikut "sok asik". "Ibu suka kalau banyak santri di sini? Kan rame bu, berisik, apalagi kalau ada acara."
"Nggak..." Si Ibu mengibaskan tangan dengan wajah agak prengat-prengut, menolak pernyataan saya, "justru enak, rame kalau ada santri. Ada tuh santri cewek, namanya Aci, suka main sama anak-anak sini, suka banget deh saya."
"Oh..." Saya nggak tahu "oh" saya kedengeran maksa apa nggak, tapi saya sudah berusaha se-friendly mungkin.
"Sudah lulus?" Tanya ibunya lagi. Saya mengangguk.
"Tapi di rumah dulu bu, bantu-bantu keluarga, kalau langsung kuliah nanti langsung sibuk lagi."
"Rumahnya di mana?"
"Deket sini, jalan raya sana."
"Mau kuliah apa?" Belum saya selesai membuka mulut, si ibu sudah ngomong lagi, "di sepanjang jalan ini banyak anaknya jadi perawat, lho."
Saya yang bingung dengan topik yang berubah mendadak jadi nyengir kuda. Saya yakin pasti ekspresi saya keliatan maksa banget waktu itu.
"Perawat di RSUD, RS swasta juga ada," ibu itu menyuapi cucunya yang tiba-tiba muncul di dekat saya.
Nah, topik baru nih.
"Ini cucu ibu?" tanya saya basa basi banget. "Siapa namanya?"
"Iya, namanya Uwais, Muhammad Uwais, umurnya hampir 2 tahun. Anak pertamanya anak saya, anak saya baru selesai kuliah tuh tahun kemarin, dia juga sempet mondok juga 7 tahun. 6 tahun mondok, 1 tahun pengabdian."
Udah. Kemampuan basa-basi saya hanya sebatas itu. Cupu banget emang, saya tahu kok.
"Betah mondok di sini?" tanya ibu itu lagi.
"Alhamdulillah, 6 tahun saya betah-betah aja, bu."
"Anak keberapa? Masih gadis, nih..."
"Pertama bu."
"Umur berapa?"
"18 tahun."
"Wih! Masih muda nih, udah punya laki?"
Saya menggeleng. Memasang kernyit di dahi.
"Boleh atuh itu..." Si Ibu senyum menggoda. Saya senyum pepsodent, bingung dengan suasana. "Beneran belum punya pacar?"
"Boleh atuh itu ada pacar, kan udah lulus juga." Si Ibu nyengir senang, saya nyengir bingung sambil berusaha mengendalikan ekspresi wajah. "Jadi mantu juga boleh atuh..."
lho? Ini kok makin jauh?
"Bercanda doang kali ya si ibu..." batin saya dalam hati. Akhirnya saya nyengir terus.
"Kalau itu mah nanti aja bu, abis kuliah aja urusan itu..." jawab saya seadanya. Si Ibu tersenyum menggoda lagi.
Duh, ini apaan sih? Tapi gak papa, saya berhasil mencapai satu goal: bisa basa-basi sama ibu-ibu random.
Ibunya baik kok. Cuma saya aja yang kikuk banget.Pas adik kelas saya udah dateng ke pondok dan saya pamit ke beliau, beliau bilang; "duh belum disiapin minum!"
"Nggak usah bu, makasih banyak ya, bu..."
Disapa ibu-ibu aja bisa jadi unique short story begini.
Belajar di pesantren bukan hanya untuk mencerdaskan otak dan san menorehkan nilai terbaik di rapot, tapi juga mengajarkan bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat, salah satunya kemampuan basa-basi dengan ibu-ibu. Karena kita nggak pernah tahu, mungkin ibu-ibu itu memang senang berceloteh aja, one day kita sebagai wanita kan akan menjadi seorang ibu dan ibu-ibu paruh baya yang tidak bisa se-aktif keluar rumah seperti saat muda, mungkin dengan menjawab pertanyaan "receh" bisa menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.
Maka, dengan pemahaman tersebut saya selalu berusaha merespon pertanyaan random ibu-ibu sebaik mungkin. Hitung-hitung ngamalin ilmu, kapan lagi kan?


🤭👍
BalasHapus