Sampai Titik Darah Terakhir

 

sumber: www.pinterest.com

Entah sudah ke-berapa ratus kali saya rewatch film turki berjudul Fetih 1453 ini. Kisah agung nan legendaris tentang penaklukan konstantinopel oleh Muhammad al-Fatih atau Mehmed divisualisasikan dengan luar biasa dan apik di film ini. Meski ada bumbu romance yang sebenarnya tidak perlu tentang Hasan dan Era, tapi itu tidak merusak sisi sinematik dan kepuasan penonton (ya saya dikit-dikit ngerti lah tentang per-film-an, pernah belajar sinematografi 2 tahunan soalnya).

Foto di atas merupakan scene ikonik penancapan bendera kemenangan di tiang bendera oleh panglima veteran, Hasan. Juga sekaligus scene yang selalu membuat jantung saya yang berumur 6 tahun kala itu (bahkan sampai saya rewatch hari ini) berdebar-debar, exited dan terkesan dengan sosok Hasan yang ambisius, loyal, tak kenal menyerah, mampu menahan perih dan sakit dari belasan anak panah yang menancap di badannya. Dramatisasi di film tidak begitu berlebihan, karena memang setelah saya baca sejarah penaklukannya, bahkan Hasan disebut tertancap puluhan (sekitar 56) anak panah, perjuangan berdarah yang divisualisasikan di film bahkan bisa dibilang "kurang berdarah-darah" jika kita sudah membaca sejarahya langsung. 

Dari sinilah, tanpa paksaan orang tua atau siapapun di hidup saya; film ini menunjukkan kepada saya bahwa kita memang harus se-mati-matian itu, se-berdarah-darah itu dalam mengejar impian yang agung dan besar, terlebih kita ini membawa nama agama kita, islam. Soundtrack yang berputar saat scene tersebut berjudul "My Life For My Flag", garapan Benjamin Wallfisch selalu terngiang-ngiang di telinga saya, membuat saya yang awalnya malas dan lesu menjadi semangat dan membara-bara. 

Meski terdengar hiperbolis atau berlebihan, itulah yang saya rasakan. Murni tanpa dibuat-buat. 



Alhamdulillah, dari kecil, lebih tepatnya saat saya sudah bisa membaca dan menyerap informasi secara tepat di umur tiga tahun, rasa penasaran saya terhadap dunia tumbuh pesat. Itu semua mendorong diri saya untuk membaca semua ensiklopedia di rumah, bertanya pada bunda-ayah sampai mereka lelah. Ketika saya sudah bisa mengetik dan searching google sendiri di umur 5 tahun, saya seperti menemukan harta karun yang bisa menjawab semua pertanyaan dan keingintahuan saya. Google memberi berjuta jawaban yang saya bisa pilah-pilih untuk ditanyakan lagi kepada ayah-bunda atau orang dewasa lain, rasanya seperti menemukan surga intelektual saya, haha. Tanpa bermaksud apa-apa, tapi inilah masa kecil yang paling-teramat-saya ingat. Bergelut dengan buku dan PR di TK, bertanya sampai puas pada bu guru di sekolah adalah kesibukan Oi kecil. 

Ditambah, setelah menyaksikan film seperti ini, saya bukan hanya mendapat jawaban lisan dari pertanyaan, tapi contoh dan teladan nyata dari potret tokoh fenomenal dan nyata, ia ada dalam sejarah umat islam. Manusia sungguhan, bukan tokoh fiksi, bukan hanya pahlawan fiksi di film-film. Itu yang membuat Oi kecil makin-makin-makin terkagum-kagum dengan sosok yang bersemangat tinggi.

Di hari saya menulis ini, sejatinya saya sedang lesu, ada banyak tugas dan hal yang harus saya lakukan, tapi saya bingung mengatur prioritasnya. 2 bulan lagi 2026, dan saya masih merasa perkembangan saya secara intelektual dan spiritual belum optimal, masih jauh dari yang ditargetkan. Tapi, di saat yang sama saya lelah dengan menempuh jalan menuntut ilmu yang panjang dan sulit ditebak ini. Lelah ini bukan sekedar dengan banyaknya tugas dan PPT yang harus saya baca dan rangkum, tapi lelah dengan beban ekspektasi dan takdir hidup yang tidak bisa ditebak, tapi layak diusahakan.

Qadarullah, video My Life For My Flag ini terputar secara acak di YouTube saya, seketika kelebat bayang sosok Hasan yang berdarah-darah memperjuangkan bendera muslim untuk ditancapkan di menara sebagai simbol kemenangan muslim, tokoh Sultan Mehmed yang berpidato dengan gagah di malam sebelum penyerangan terakhir, ditambah saya suka mendengarkan ceramah ustadz Feix Siauw tentang hal tersebut. Selelah apapun itu, saya tidak pernah terpikir untuk berhenti.

Meski rasanya berat sekali, dan langkah serta otak saya mulai melambat. 

Saya belum pernah belajar hingga berdarah-darah (mimisan atau tiba-tiba luka dan pendarahan parah (eh, tapi waktu operasi usus buntu kehitung lah ya ada fase "berdarah"-nya, waktu di-infus juga saya sempat berdarah deh, berarti saya pernah belajar sampai berdarah-darah, hehe)), tapi saya harap, jika sesuatu yang berat dan menyakitkan terjadi pada saya di jalan saya menuntut ilmu, bahkan hingga berdarah-darah, ketimbang meminta luka dan darahnya cepat-cepat sembuh, saya lebih ingin ditancapkan dengan lebih kuat lagi semangat untuk tetap belajar. Karena rasa semangat dan ambisi itu mahal adanya. Meski menyembuhkan luka juga penting.

Saya ingin, terus belajar dan berjuang sampai titik darah terakhir saya habis. Sebagaimana Hasan yang tidur dengan damai setelah menancapkan bendera kemenangan. Tidur dalam kedamaian bersama iman dan lantunan shalawat malaikat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer