Ketika Kamu Ingin Menghilang Aja Dari Dunia Ini

 

"Kak Oi, gimana kak testimoninya sebagai alumni? Mengalami kehidupan luar." Satu hari saya ketemuan dengan beberapa adik kelas yang mukim di  pondok saat jadwal perpulangan. Mereka langsung menanyakan pertanyaan tersebut ke saya dengan binar mata penasaran dan sedikit iri (mungkin, ya).

"Mmm.." Saya sok-sok berdehem karena dalam menjawab pertanyaan itu, tidak boleh asal ceplas-ceplos. Karena saya sudah mengalami kehidupan sebagai santri dan sekarang adalah seorang alumni dan calon mahasiswa. Saya menjawab dengan kalimat terbijak yang bisa saya dapatkan waktu itu. "Ya.. semuanya itu tentang tanggungjawab, sih." (sebenernya saya mau kasih jawaban yang lebih 'ngena', tapi otak saya hanya bisa memproses kalimat tersebut adalah yang paling aman, jadi yang keluar itu deh).

"Aku mau berhenti aja deh kak rasanya, keluar..." Keluhan semacam itu bukan hal baru yang saya dengar, entah dari adik kelas, kakak kelas dan teman-teman sendiri. "Aku stress." Dari segala panjang celotehan mereka, dua kata itu adalah kesimpulan sederhana yang dapat diambil. "Nggak tau lah, aku bingung mau ngapain. Rasanya kayak mau menghilang aja, capek."

Saya tahu. 

Saya tahu bahwa mereka tahu jawaban apa yang akan didapat atau balasan dari keluhan mereka yang begitu. Saya tahu mereka tahu nasehat yang akan dilontarkan pada mereka adalah: "sabar... hidup ini nggak selalu mudah." Tapi, terkadang mereka hanya butuh kuping untuk mengeluarkan unek-unek. Jadi, saya dengan senang hati pasang kuping. 

"Kak Oi nggak pernah sedih dan kesusahan emangnya?" tanya salah satu dari adik kelas saya lugu. Entah lugu atau pikir pendek apa gimana, tapi saya hanya tertawa menanggapi pertanyaan itu. 

"Menurut kamu?" saya tanya balik.

"Kak Oi tuh nggak pernah nangis gitu, lho aku liat-liat. Kayak... santai aja selama aku liat kak Oi di pondok ya." Jawabnya. Mungkin karena sebagian besar akhwat kalau ada masalah nangis sambil curhat ke temennya, sedangkan saya nggak, jadinya dia nanya gitu. Sebagian besar ya, nggak semuanya dan bukan kewajiban juga kok kalau curhat gitu. Kalau saya lagi pusing sama tugas, energi saya sudah habis buat pusing, jadi nggak ada energi untuk cerita dan nangis.

Ngapain? Ya saya turu dong, bobo, tidur sambil jaketan di bawah kipas kamar.

"Emang kalau nangis harus depan kamu?" tanya saya lagi.

"Ya... nggak sih. Tapi maksudnya kak Oi kenapa kayak gitu? Aku gak ngerti aja." Ujarnya jujur.

"Nih," saya mengangkat tangan setinggi telinga saya, "kepusingan aku udah segini. Katakan itu ya.. tugas, murajaah hafalan, muthalaah mapel, ngurusin santri, ngurusin divisi di BEST, buat laporan, tanggungjawab sebagai ketua kamar dan mengatur uang jajan yang pas-pasan," saya mengambil contoh konkrit yang relate dengan kehidupan santri. "Kalau aku rungsing, nggak nyelesain tugas, nggak bikin laporan kegiatan sebagai BEST dan lain-lain, psusingnya bakal nambah lagi karena aku nggak selesain apa yang harusnya aku selesain, ya nggak?" 

Dia mengangguk paham. 

"Ya makanya, selesein. Meskipun kamu nggak suka tugas di pelajaran itu. Emang kamu mau pusingnya nambah? Nggak kan? Makanya kerjain. Gampang. Gitu aja." Simpul saya dengan bahasa yang sangat sederhana. 

"Kalau kakak nggak paham dan nggak bisa lagi?" tanyanya lagi.

"Ya kerjain sebisanya, toh aku udah berusaha, masa iya hasilnya jelek? Setidaknya kalau nggak bisa sempurna ya jangan jelek."

"Kalau kita nggak pinter?"

"Emang tugas kamu belajar biar pinter? Nggak se-sepele itu. Kita belajar kan buat cari ridha Allah dan evaluasi diri. Yang jelas kalau belajar kamu bener, nggak mungkin kamu makin bodoh dari hari ke hari. Selalu ada jalan buat jadi lebih baik tiap hari, manusia kan jatuh-bangun."

"Kalau dalam bersosial kita masalah sama temen mulu?"

"Ya itu bisa jadi bahan evaluasi, sikap, kalimat atau ekspresi muka itu kan ngaruh ya di sosial. Asal kamu mau buka mata dan menerima kesalahan yang udah kamu perbuat lalu memperbaiki diri, masalah sosial nggak akan se-berarti itu."

Ya, saya bukan filsuf ataupun orang bijak. Tapi terkadang, saya merasa sebagai akhwat melihat kebiasaan akhwat yang kalau udah pusing dan stress nggak jelas (ya, kadang-kadang stressnya akhwat atau cewek itu suka nggak jelas, bisa karena drama dia mau haidh, atau dia nggak bisa mengatur pikiran dan perasaannya sendiri, atau belum jajan yang manis-manis, atau butuh dipeluk aja) tidak menyelesaikan masalahnya dengan sistematis. Malah kebanyakan curhat dan minta validasi. Meski itu penting ya... menjalani dan menyelesaikan masalahnya juga penting.

"Kalau kamu memutuskan berhenti dari sini, itu si pilihan kamu ya, cuma..." saya menggantungkan kalimat sedikit sebelum melanjutkannya dengan istilah yang mudah dipahami agar pesan saya didapat dengan tepat, "Masa nggak sampai tuntas si sekolahnya? Selesain dong. Sesuatu itu harus tuntas, apalagi ini sekolah dan belajar." Mengingat saya masuk pondok ini bukan karena ambisi saya, maksudnya, saya mau mondok, tapi bukan pondok ini. Tapi, bukan berarti pondok ini jelek. Saya bisa tuntas kok mondoknya. "Lagi kita ini masih enah, sekolah masih bisa milih dan dibayarin orang tua."

"Dengan kamu memutuskan berhenti di tengah jalan dan "ceritanya" nih, mau mencari kondisi yang lebih baik, apakah kamu bisa dengan seyakin-yakinnya kalau kamu akan sukses in that journey? Dengan keputusan pendek dan dipenuhi emosi? Bukan dengan kepala dingin dan diskusi dalam dengan orang tua." 

"Kadang, kita sebagai ABG dan anak yang belum paham cara kerja dunia suka menghakimi berdasarkan sudut pandang kita aja tanpa mencari hal-hal baik yang ada di dalamnya. Semuanya ada resiko, baik dan buruk. Yang penting itu, kamu bisa nggak ukur diri kamu, apakah kamu bisa menanggung resiko buruk yang akan didapatkan dengan ambil keputusan itu?"

"Kalau kamu homeschooling, berarti kamu harus melepas temen-temen di pondok dan hanya bisa ketemuan sebulan sekali, itupun kalau mereka dan kamu bisa karena menyesuaikan waktu dan kesibukan yang udah beda, dan apakah kamu bisa produktif? Ya susah kan karena nggak ada yang menegaskan jadwal harian kayak di pondok. Kalau kamu ke sekolah negeri, kamu harus adaptasi lagi dan belajar mapel umum yang langsung seabrek, sedangkan di sini kita bertahun-tahun hampir nggak pernah belajar mapel umum serius, kamu siap?" 

Saya bikin dia mikir aja. Ya, saya sebagai akhwat merasa santri yang lagi di ujung tanduk harus diajak diskusi realistis biar nggak bikin keputusan impulsif yang nantinya akan menyusahkan diri sendiri di masa depan. 

"Aku gap year nih," saya menunjuk diri sendiri, "apakah aku dijamin akan kuliah tahun depan? Nggak. Tapi dengan keputusan dan pertimbangan yang udah aku buat, rencana belajar dan target-target lain, insya Allah aku bisa jadi mahasiswa dengan baik. Resikonya? Ya aku jadi adek tingkatnya temen-temen aku, tapi aku nggak keberatan, makanya aku ambil jalan ini. Karena nggak semua anak gap year itu ambil jeda setahun hanya karena mereka lemah akal dan duit, gitu lho.." Saya menutup obrolan dengan simpulan sederhana dari kondisi real yang saya alami. 

Menghilang dari dunia ini bukan solusi, tapi menghadapi dengan berani adalah jalan yang insya Allah manjur terbukti. 

Gimana pembaca sekalian kalau menghadapi kondisi yang membuat pembaca "rasanya mau menghilang aja dari dunia ini" saking capek dan jenuhnya? Bisa sharing di comment section, ya!

Komentar

  1. Good to share...
    Bisa jd Pencerahan buat para Gen Alpha yg kadang suka drama 🤭
    Atau Gen Z yg kl ada masalah kadang suka lari 🤭..

    Tapi...banyak juga loh..sekarang Gen Z yg penuh Responsibility..Dan Gen Alpha yg mulai kuat mental Dan Jiwa..🤲👍🌹

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer