Lima Hari Mengembara
Ada orang yang trip Lebarannya mulai dari 10 hari sebelum Lebaran, ada juga yang mulai saat hari-H Lebaran. Ada yang "mudik"-nya ke Jakarta saja atau ke kota terdekat, ada yang hingga keliling Jawa hingga ke provinsi lain. Ada yang naik mobil, bus, kereta hingga pesawat. Apapun itu, segala kejadian yang terjalani akan selalu menjadi kenangan yang berjuta rasanya.
Memang melelahkan, bersilaturahim dari satu keluarga ke keluarga lain, pagi hari yang sibuk hingga malam hari yang lelah. Apalagi kalau membayangkan besok pagi harus siap-siap untuk kumpul keluarga di tempat lain. Belum lagi jika di tengah kumpul keluarga nanti banyak pertanyaan "basa-basi" yang mungkin bagi beberapa dari kita sedikit "tidak bermutu", "basi" dan "buang-buang" waktu.
"Kelas berapa sekarang?" Bagi mereka yang dulunya perasaan masih pakai pampers, lari-larian ke sana kemari. Tiba-tiba sudah berpashmina lilit sambil senyum canggung.
"Eh, udah gede, yaa... kamu inget gak dulu Tante gendong-gendong?" Ini bagi yang dulu masih berambut pendek dan pakai rok mini, sekarang sudah berkemeja dan rambut cepol dengan make up tipis.
"Kapan nikah?" Bagi yang biasanya sudah lulus kuliah.
"Kapan ada momongan, nih?" Bagi yang baru kemarin sore akad, sudah ditanya begini.
"Kapan nambah momongan lagi?" Sudah isi satu, ada aja orang-orang nanya lagi, meski hanya basa-basi, pertanyaan sepele yang seringkali membuat beberapa dari kita jadi anxiety untuk berlebaran. Belum lengkap jika tidak ada cuitan jilid tante-tante bagi ponakan perempuan mereka yang sudah dilangkah beberapa kali atau sudah mau kepala tiga tapi belum gandeng siapa-siapa.
Rasanya di hari pertama sudah bertemu anggota keluarga besar, tapi besoknya bunda kita sibuk lagi di pagi hari dan bilang "siap-siap, kita mau ke rumah sepupu bunda yang di kota sana," lalu kita berkerut heran dengan batin menggerutu, "siapa lagi, sih?" Perasaan dan keadaan itu terus berlanjut hingga lima hari ke depan.
Adapun akhirnya, kita juga tidak kenal-kenal amat dengan sepupu-sepupu kita itu. Atau meskipun kenal tak ada keinginan untuk tegur sapa. Rasanya begitu canggung jika memaksakan diri, meski kita tahu hal itu bukan yang sepantasnya, bahwa kita harus bertegur sapa dan mengobrol ringan agar tersambungnya tali silaturrahim.
Bagi yang berkeliling dan mengembara selama tiga hingga lima hari untuk kumpul keluarga. Semua rasa lelah itu sungguh kecil jika dibandingkan dengan pahala yang besar dari Yang Maha Kuasa. Betapa berharganya sebuah pertemuan canggung itu meski hanya sekali seumur hidup itu meski rasanya kita takkan akan ada hubungan atau komunikasi apapun dengan "orang-orang asing" itu. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Bersikap baik dan santun serta beradab tetaplah nomor satu, meski mungkin rasanya kita takkan bisa bercengkerama akrab dan dekat dengan sepupu-sepupu kita itu.
Semua itu tidaklah sia-sia. Karena kita yang pernah hadir dalam majlis perkumpulan tetaplah berbeda dengan mereka yang tidak.


Komentar
Posting Komentar